Jumat, 23 Maret 2012

Akhlak Tasawuf


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Krisis yang tidak kunjung selesai yang melanda bangsa Indonesia, baik yang berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, pendidikan maupun sosial, sebenarnya kalau diteliti lebih dalam sebenarnya mengarah kepada persoalan yang paling mendasar, yaitu moral. Jika memang persoalannya adalah politik, tentu penyelesaianya  secara politik akan membuahkan hasil, tetapi faktanya tidak. Nasib serupa juga menimpa berbagai pola penyelesaian dengan macam-macam pendekatan. Hal ini menunjukkan bahwa di bawah permukaaan persoalan ada persoalan lain yang lebih mendasar, lebih urgen, dan persoalan ini merupakan inti persoalan yang jika tidak diselesaikan ajan melahirkan persoalan-persoalan baru. Inti persoalan itu adalah krisis moral, maka penyelesaiannya pun harus menyentuh aspek-aspek moral.
Sebenarnya kata akhlaq ini lebih pas dari pada kata moral, karena maknanya lebih komplek dan mencakup keseluruhan pembahasan, baik yang terkait dengan masalah moral itu sendiri maupun dengan tasawwuf. Akan tetapi, dalam dua istilah ini dipakai untuk menunjukkan makna sama. Meskipun demikian, merasa perlu untuk menjelaskan dua istilah pokok tersebut. Kata akhlaq berasal dari kata khalaqa yang bermakna ciptaan, keterciptaan, dan penciptaan. Dari kata ini pula lahir istilah khalqun dan khuluqun. Yang pertama bermakna ciptaan dalam arti fisik, sedangkan yang kedua bermakna ciptaan dalam arti batin.kemudian muncullah kata khaliq dan makhluq, yaitu sang maha pencipta dan yang diciptakan. Dalam kontek ini, manusia sebagai makhluk memiliki dua dimensi keterciptaan, yaitu khalqun dan khuluqun. Khuluqun adalah dimensi manusia sebagai makhluq yang dilihat dari sisi bentuk fisiknya, yakni aspek zahir. Sedangkan khuluqun adalah dimensi manusia sebagai makhluq yang diukur dari sisi bentuk batinnya, yaitu perilaku psikisnya yang dimotori oleh kekuatan nalar dan rasa. Nalar dan rasa merupakan energi pembawaan, dengan dibantu berbagai memori dan informasi mempengaruhi organ-organ tubuh sehingga menghasilkan prilaku. Dengan demikian, akhlak merupakan perilaku batin yang memiliki rupa, ciri-ciri fisik, dan karakter yang bersifat batin pula, yang refleksinya menampak dalam perbuatan, adat- istiadat dan perilaku zahir manusia.
Sementara moral yang memiliki padana kata dengan etika atau budi pekerti maknanya lebih mengarah kepada watak manusia. Watak di sini hanya mengacu kepada fenomina perilaku jiwa yang berada di permukaan, bukan pada motor penggerak yang lebih mendalam sebagaimana yang dipahami dalam istilah akhlaq. Kata ini (moral) tidak memiliki makna ideologis sebagaimana yang termuat dalam kata akhlak. Ia hanya menunjukkan makna watak, karakter, kebiasaan dan kepercayaan trehadap suatu nilai, yang kemudian merujuk makna akhlak, yaitu kualitas esensial seseorang atau sekelompok manusia, termasuk bangsa. Secara umum, akhlak, etika, budi pekerti, dan moral bermakna jiwa khas sekelompok mayarakat atau seseorang, yang dari jiwa dan dari jiwa khas itu berkembang pandangan bangsa tengtang baik dan buruk, yakni etikanya. Meskipun persoalan utama yang dikaji dalam ilmu ahklaq adalah baik buruk suatu nilai yang terdapat dalam perilaku manusia, dalam pengertian ahklaq tasawwuf jauh lebih mendasar dari pada pengertian baik-buruk yang bersifat moralis atau humanis, bukan sekedar mengisyaratkan kesopanan semata, tetapi lebih dalam lagi sebagai konsep dan ajaran yang serba meliputi, yang menjadi pangakal pandangan hidup tentang baik dan buruk. Oleh kerena itu, ajaran moral dalam makna yang seluas-luasnya akan mencakup keseluruhan pandanagan dunia dan filsafat hidup.
            Baik dan buruk dalam kehidupan nyata akhirnya di definisikan sebagai kualiatas hidup, sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia dalam hubungannya dalam sesamanya, dengan alam semesta dan hususnya dengan Tuhan, perbuatan baik di istilahkan amal sholeh, sedangkan perbuatan  jahatdi sebut kemaksiatan, dalam arti seluas-luasnya, amal sholeh adalah setiap tingkah laku manusia yang menunjang usaha mewujudkan tatanan hidup sosialyang teratur dan berbudi luhur.
            Bertalian dengan ini, makna akhlaq  karimah (budi pekerti luhur) adalah suatu kategori kebaikan dalam arti budi luhur yang mewujud dalam kontek sosial. Maka dari itu, ketika Rosulullah menegaskan bahwa beliau di utus hanya untuk menyempurnakan ahklaq, maka hadts ini di pahami dalamkaitannya dengan makna kemasyarakatan keyakinan agama yang beliau ajarkan,. Keluhuran budimerupakan salah satu konsekuensi nyata dari amalan taqwa. Sedangkan taqwa mendorong seseorang kearah perbuatan-perbuatan yang di ridhai Allah langsung antara taqwa dan ahklah mulia juga tercerrmin dalam sabda niabi yang lain :”yang paling banyak memasukkan orang kedalam surga ialah taqwa kepada Allah dan budi luhur.”          

BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian dan ruang lingkup akhlak Islami
Kata akhlak di ambil dari bahasa arab dengan kosa kata al-khulq yang berarti kejadian, budi pekerti dan tabiat dasar yang ada pada manusia. Setiap manusia dilahirkan dengan tabiat dasarnya yang dibawa dari Tuhan. Pada umumnya yang ahli bidang ini memahami hal itu dari hadits Rasulullah SAW:
yang artinya: “Setiap manusia dilahirkan berdasarkan fitrahnya, lalu kedua orang tuanyalah yang mempengaruhinya menjadi yahudi, majusi, dan nasrani”.(HR.Muslim)
Kata fitrah pada hadits ini diartikan dengan agama Ilahi yang mengandung ajaran kebenaran dan kesucian. Ajaran inilah yang dibawa lahir oleh setiap manusia dan yang disebut sebagai tabiat dasarnya, sehingga setiap individu selalu cenderung kepada kebenaran dan kesucian serta benci kemaksiatan dan kezaliman.[1]
Dari akar kata al-khulq terbentuk kosakata al-akhlaq , al-khaliq dan al-makhluq.
Al-akhlaq adalah potensi yang tertanam di dalam jiwa seseorang yang mampu mendorongnya berbuat (baik dan buruk) tanpa didahului oleh pertimbangan akal dan emosi. Maksunya ialah perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga menjadi keperibadian.
Al-khaliq adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta, termasuk manusia. Dia bukan sekedar pencipta melainkan juga pemelihara dan pemberi semua kebutuhan ciptaan-Nya.
Al-makhluq adalah semua alam semesta termasuk isinya yang diciptakan Allah. Dalam teologi Islam, alam ciptaan ini dijadikan sebagai argument logis atas keberadaan (wujud) Allah.
Pembentukan ketiga kata itu dari kosakata yang sama menunjukkan bahwa ketiganya bagaikan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait dalam gerak kehidupan. Dalam kajian teologi, adanya Allah sebagai pencipta tergantung kepada makhluknya. Tanpa makhluk Allah tidak disebut pencipta. Makhluk sangat membutuhkan hubungan baik dengan penciptanya. Tanpa kasih sayang penciptanya dia tidak dapat hidup. Sedangkan akhlaq merupakan jembatan penghubung antara khalik dengan makhluk-Nya dan antara makhluk dengan sesama makhluk.
Di samping istilah akhlak, ada beberapa istilah yang sering di sama artikan dengan oleh banyak orang yaitu moral, etika dan susila.
Pada keempat istilah-iatilah itu (termasuk istilah akhlak), dari segi makna, terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada objek dan sifatnya, sedangkan perbedaannya terletak pada indikator yang digunakan.
Definisi akhlak yang diangkat di atas adalah hasil rumusan beberapa orang ahli di bidang ini, seperti Imam al-Ghazali (1059-1111 M) dan Ibnu Maskawaih.
Akhlak sebagai potensi yang bersemayam dalam jiwa menunjukkan bahwa akhlak itu abstrak, tidak dapat diukur dan diberi nilai oleh indrawi manusia. Untuk memberi penilaian baik atau buruknya akhlak seseorang dilihat dari perbuatan-perbuatan yang sudah menjadi kebiasaannya, dan inilah yang disebut dengan perbuatan akhlak[2].
Perbuatan akhlak adalah tingkah laku yang muncul dari dorongan akhlak yang berada di jiwa. Jika tingkah laku itu baik dan sudah menjadi kebiasaannya disebut akhlaknya baik, dan demikian sebaliknya. Dengan demikian, perbuatan  seseorang adalah cerminan dari akhlaknya, bukan sebagai akhlaknya sendiri.[3]
Ruang lingkup akhlak islami adalah sama dengan ruang linhkup ajaran islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tidak bernyawa).[4] 
B. Ciri-ciri perbuatan akhlak Islami
Yang dimaksud dengan perbuatan akhlak pada kontek ini ialah perilaku atau tindakan seseorang sebagai penjelmaan (manifestasi) dai sifat mental yang terkurung di kalbunya. Tetapi tidak semua perilaku atau perbuatan manusia digolongkan kepada perbuatan akhlaknya. Yang dapat disebut sebagai perbuatan akhlak seseorang ialah:
  1. Perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan sehingga telah menjadi kepribadiannya.
  2. Perbuatan itu mudah dilakukan tanpa didahului oleh pertimbangan.
  3. Perbuatan itu timbul dari dorongan hati atau keinginan hati, bukan karena terpaksa.
  4. Perbuatan itu dilakukan dengan sungguh hati, bukan sekedar bercanda dan kajian ilmiah.
  5. Perbuatan itu dilakukan dengan ikhlas (untuk perbuatan baik ).
  6. Tidak merasa bersalah atau malu setelah melakukannya karena sudah menjadi kebiasannya sehari-hari.
Perbuatan buruk yang dilakukan hanya satu atau dua kali sepanjang hayat, belum dapat dijadikan sebagai ukuran akhlaknya yang buruk. Di samping karena belum termasuk kebiasaan, perbuatan itu dilakukan bukan atas kehendak hati dan pelakunya karena ia masih menyesali perbuatannya. Suatu perbuatan buruk apabila sudah menjadi kebiasaan, jika dilakukan tidak melahirkan rasa penyesalan.
C. Hubungan kedua orang tua
Anak merupakan berkat khusus yang Tuhan percayakan kepada sebuah keluarga. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam hubungan antara orang tua dan anak.
1. Kasih yang merata
Setiap manusia merupakan ‘gambar Allah’, dan mempunyai kekayaan kepribadian tersendiri. Hal itu menjadi tantangan untuk pendidikan anak-anak agar orang tua menggali, menghargai, dan mengembangkan setiap bakat anak. Banyak anak mengalami frustrasi dalam perkembangannya karena diberi cap tertentu oleh orang tuanya. Mereka terus dibandingkan dengan kakak atau adiknya, sehingga harga diri tertekan. Tekanan itu dapat membentuk jiwa pemberontak.
Akibat kasih yang tidak merata dan tidak adanya kesatuan antara kedua orang tua maka akibatnya akan dipanen pada masa mendatang (contoh Ishak dan Ribka)
Alkitab mengajarkan bahwa “Allah tidak memandang bulu”, dan para tuan dan para hamba diperingatkan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan yang “tidak memandang muka” (Roma 2:11; Efesus 6:9). Dengan demikian setiap orang tua Kristen harus mengasihi anak-anaknya tanpa Pilih kasih.


2. Menerima kehadiran anak dengan sukacita
Suami dan istri harus menerima kehadiran anak dengan rasa sukacita, hal tersebut menjadi titik tolak yang menentukan dalam pendidikan orang tua terhadap anak dan juga menentukan dalam perkembangan anak itu sendiri (contoh Yusuf).
Banyak anak mengalami komplikasi jiwa, bilamana mereka makin lama makin menyadari bahwa kehadiran mereka sebenarnya tidak diinginkan oleh orang tuanya. Mereka haus akan kasih dan mencari kompensasi kasih di luar rumahnya.
3. Mendidik anak secara bersama
Mendidik anak bukanlah sesuatu yang mudah. Orang tua dituntut dalam seluruh kepribadiannya, bahkan keadaan rohaninya diuji. Anak-anak membutuhkan waktu dan perhatian kedua orang tuanya. Para ayah tidak boleh menyerahkan masalah pendidikan kepada para ibu saja, demikian sebaliknya. Mereka harus bertanggung jawab atas keadaan anak-anaknya. Mereka harus bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan pendidikan anak-anak. (contoh Yusuf dan Maria)
4. Menjaga Komunikasi
Tantangan yang dihadapi oleh orang tua dalam pendidikan anak, khususnya anak yang memasuki masa remaja adalah jurang komunikasi (contoh Yusuf dan Maria). Memang wajarlah anak-anak remaja dalam pergumulan pertumbuhan jiwa dan tubuhnya mengalami fase di mana mereka berkata, “orang tuaku tidak mengerti aku, bahkan aku tidak mengerti diriku sendiri.” Sebab itu sangat perlu bagi orang tua menjembatani jurang itu. Orang tua harus terjun dalam minat dan alam pikiran mereka, mengambil kesempatan bercakap-cakap bila kesempatan itu muncul, menghargai dan menampung pikiran dan pandangan mereka, meskipun kurang baik dalam pengertian kita, dan terutama mengajak mereka secara informal membaca Alkitab dan berdoa. Orang tua harus menyadari bahwa di balik segala penolakan terhadap perkara-perkara rohani, hiduplah jiwa anak yang kosong dan kacau, yang sebenarnya sangat merindukan Tuhan.



5. Bagaimana jika orang tua bekerja?
Orang tua harus berdoa bersama dan bertanya kepada Tuhan dengan membentangkan situasi keluarga di hadapan Tuhan, apakah Tuhan menghendaki mereka berdua bekerja atau salah satu saja yang bekerja, mereka akan mendapat dari Tuhan sejahtera untuk hal itu. Prinsipnya anak-anak harus tetap diperhatikan. Dan orang tua harus tetap dalam kesadaran bahwa menikah adalah suatu panggilan dan tanggung jawab di hadapan Tuhan yang tidak boleh dilalaikan atau digampangkan.

D. Akhlak guru dan murid
Salah satu adab seorang murid kepada gurunya adalah tidak melawan gurunya secara lahir dan tidak menolaknya dalam batin. Orang yang durhaka secara lahir berarti meninggalkan adabnya. Orang yang menolak secara batin berarti menolak pemberiannya. Bahkan, sikap tersebut bisa menjadi permusuhan dengan gurunya. Karena itu, dia harus bisa menahan diri untuk tidak menentang guru secara lahir maupun secara batin dan banyak membaca do’a:
“Wahai Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman terlebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hasyr: 10).
Apabila melihat dari gurunya ada sesuatu yang dibenci dalam agama, hendaklah dia mencari tahu mengani hal itu dengan perumpamaan agar tidak menyebabkan gurunya kurang senang kepadanya. Manakala melihat sesuatu aib pada gurunya, hendaklah murid menutupi serat berprasangka buruk terhadap dirinya sendiri dan menakwilkan bahwa gurunya dalam batas agama. Apabila dia menemukan alas an bagi gurunya yang dibenarkan dalam agama, maka hendaklah dia memohonkan ampun untuk gurunya dan mohon agar gurunya diberi taufik, sadar, dan terpelihara. Jangan menganggap gurunya tersesat dan jangan memberitahukan hal itu kepada orang lain. Ketika kembali kepada gurunya pada hari atau waktu yang lain, hendaklah dia menganggap bahwa kekeliruan gurunya itu telah hilang, dan sesungguhnya gurunya telah berpindah ke tingkatan yang lebih tinggi yang belum dijangkaunya.[5]
Kekeliruan terjadi karena kelalaian, suatu kejadian atau pemisah di antara dua keadaan. Karena pada tiap-tiap dua keadaan itu ada pemisah dan kembali kepada kemurahan agama, seperti tanah kosong diantara dua kampong atau halaman di antara dua rumah. Selesai dari tingkatan pertama dan akan memasuki tingkatan berikutnya. Pindah dari suatu kewalian kepada tingkat kewalian yang berikutnya. Dia melepas sebuah mahkota kewalian dan mengenakan mahkota kewalian yang lain, yang lebih tinggi dan lebih mulia. Setiap hari, kedekatan mereka bertambah kepada Allah SWT.
Apabila guru sedang marah dan wajahnya terlihat tidak menyenangkan, janganlah meninggalkannya. Tetapi dia harus memeriksa batinnya, mungkinkah dia telah melakukan adab yang kurang baik terhadap gurunya atau telah melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah SWT dengan meninggalkan perintah atau melakukan pelanggaran?. Dia harus memohon ampun dan barutaubat kepada-Nya. Dia juga harus bertekad tidak akan mengulanginya, meminta maaf kepada guru, merendahkan diri di hadapannya, menyenangkannya dengan tidak akan melawannya, menemaninya selalu, dan menjadikannya sebagai perantara antara dia dengan Tuhannya, serta jalan yang akan menyampaikannya kepada-Nya. Seperti orang yang hendak datang kepada raja, sedang raja tidak mengenalinya, maka dia harus berusaha untuk setiap halangan yang menghadangnya, atau mengajak salah seorang yang dekat dengan raja untuk menunjukkan bagaimana caranya dapat berjumpa dengan raja. Dia harus belajar adab dan tata cara bercakap-cakap dengan raja atau hadiah apa yang sesuai untuknya, atau sesuatu yang tidak dimilikinya dan apa yang mesti diperbanyak.[6]
Selanjutnya, dia harus mendatangi istana dari pintu depan. Jangan lewat pintu belakang sehingga nanti akan dicela dan mendapatkan kehinaan serta tidak memperoleh apa yang dia inginkan dari sang raja. Sesungguhnya, setiap orang yang hendak memasuki sebuah istana mesti ada tata cara dan ada pelayan atau petugas yang akan membimbing tangannya atau memberikan isyarat kepadanya untuk mempersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan. Dia mesti mengikuti supaya tidak mendapatkan kehinaan atau dituduh sebagai orang yang tidak beradab dan bodoh.
Di antara adab yang harus dimiliki oleh seorang murid adalah murid tidak diperkenankan berbicara di depan guru kecuali seperlunya, dan tidak menampakkkan sedikit pun keadaan dirinya di depan guru. Dia juga tidak sepatutnya menggelar sajadahnya di depan guru kecuali pada waktu melakukan shalat. Jika telah selesai shalat, hendaknya dia segera melipat kembali sajadahnya. Murid harus selalu siap melayani gurunya dan orang yang duduk diruangannya dengan senang hati, ringan dan cekatan. Seorang murid harus bersunguh-sungguh jangan sampai menggelar sajadahnya sedang di atasnya ada orang yang lebih tinggi tingkatannya. Dia juga tidak boleh mendekatkan sajadahnya kepada sajadah orang yang lebih tinggi itu kecuali dengan izinnnya. Karena hal demikian dianggap kurang beradab bagi mereka.
Bila menemukan kemusykilan gurunya, seorang murid hendaknya diam meskipun memiliki penjelasan dan jawaban mengenainya. Akan tetapi, dia boleh mengambil apa yang telah Allah SWT bukakan baginya melalui lisan gurunya, kemudian menerima dan mengamalkannya. Jika melihat ada kekurangan dalam jawaban gurunya, seorang murdi tidak boleh membantah atau menolaknya. Bahkan, dia harus bersyukur kepada Allah SWT atas apa yang telah diberikan kepadanya berupa keutamaan, ilmu, dan nur yang disembunyikan dalam dirinya. Dia tidak boleh memperpanjang perbincangannya dan tidak boleh mengatakan mengatakan,”Guru telah salah dalam masalah ini.” Dia tidak boleh membantah ucapannya kecuali terjadi secara spontan dan tidak sengaja. Jika demikian, dia harus segera menghantikan ucapannya dan menggantikan dengan diam, dan taubat serta bertekad tidak akan mengulanginya.
Murid juga tidak sepatutnya banyak bergerak sewaktu mendengar di depan guru kecuali karena mendapat isyarat darinya. Dia juga tidak sepatutnya melihat pada dirinya memiliki suatu keadaan kecuali terjadi padanya suatu hal yang memaksanya untuk membedakan dan memilih. Apabila hal itu telah reda, hendaknya dia kembali kepada keadaan semula, diam penuh adab, tawadhu’ dan menyembunyikan rahasia yang telah Allah SWT berikan kepadanya. Sungguh, kami telah menyebutkan hal ini, yakni tentang sikap, perbuatan atau ucapan yang tidak baik bagi seorang murid, tetapi kini justru kadang terjadi di madrasah atau pondok mereka. Memang tidak dipungkiri, murid yang dapat melakukan adab yang demikian sempurna itu termasuk murid yang benar dan bersungguh-sungguh. Sehingga makna sesuatu yang telah dia dengar itu menyalakan cahaya kebenaran dan menguatkannya. Kemudian dia akan sibuk di dalam cahaya itu dan tenggelam di dalamnya. Anggota badannya bergerak di tengah kaum, namun sebenarnya dia berada di sebuah batas yang penuh dengan kelezatan watak dan keinginan. Tiap orang akan membayangkan dekat orang yang merindukannya.
Murid yang bersungguh-sungguh, api kerinduannya tidak akan padam dan pancarannya tidak akan pernah redup. Kekasihnya tidak pernah ghaib dan penghiburnya tidak akan pernah jauh. Murid seperti ini akan senantiasa bertambah dalam kedekatan, kelezatan, dan kenikmatan. Tidak ada yang dapat mengguncangkan atau merubah keadaannya selain ucapan Dzat Yang dikehendakinya dan pembicaraan Dzat Yang Menolongnya. Meskipun pada saat itu, didekatnya banyak syair.
Nyanyian, suara-suara teman-teman syetan, para pengikut hawa nafsu, dan para pengejar kesenangan. Seorang murid hendaknya tidak menentang seseorang pada saat ia mendengarkan dan tidak menolak seseorang dalam menuntut sesuatu yang diinginkan dan dirindukannya, berupa surga dan bidadari serta melihat Allah SWT di akhirat, yang mana ia telah zuhud terhadap dunia, kelezatan dan kesenangannya, anak-anak dan wanitanya. Ia telah berani bersabar atau keburukan, ujian dan cobaan di dunia serta berpaling kepada anak-anak di akhirat. Hendaknya dia menyerahkan semua itu kepada para guru yang ada. Sesungguhnya mereka itu dalam kekuasaan guru.
Bila belajar pada seseorang guru, dia harus percaya bahwa dikampung itu tidak ada orang yang lebih utama dari gurunya, sehingga dia akan berhasil mendapatkan apa yang dia cita-citakan, dan sang guru akan dapat menghadapkan kepada Allah SWT. Murid harus menjaga rahasianya ketika berkhidmat bersama Allah SWT dalam mencapai kehendaknya. Dia harus menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh gurunya adalah sesuatu yang sesuai dengan keadaannnya.
Sesungguhnya melawan guru adalah racun yang sangat berbahaya. Jadi, jangan sampai murid menentang guru, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. Dia tidak boleh menyembunyikan sedikitpun keadaan dan rahasianya terhadap guru, dan tidak memperlihatkan kepada orang lain apa yang telah diperintahkan kepadanya. Tidak sepatutnya bagi seorang murid bertekad meminta kemurahan atau meminta kembali kepada apa yang telah ditinggalkannya karena Allah SWT. Sesungguhnya hal itu merupakan kesalahan besar sekaligus kerusakan kehendak bagi ahli tharekat. Disebutkan dalam hadist Rasulullah SAW,”Orang yang kembali kepada keadaannya seperti anjing yang muntah lalu memakannya lagi”, jangan sampai menjadi kurang beradab. Jika terjadi kekurangan dalam melaksanakan apa yang telah diisyararatkan gurunya, maka murid harus memberitahukan hal itu kepada gurunya sehingga guru akan memberikan arahan yang sesuai dengannya dan mendoakan agar mendapatkan taufik, kemudahan dan keberhasilan.

BAB III

PENUTUP
Ø  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita tarik beberapa kesimpulan yang mendasari penulisan ini, di antaranya:
Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabiat, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan khaliq atau dengan sesama makhluk.
Akhlak etika dan moral memang mempunyai banyak pengertian akan tetapi akhlak etika dan moral tersebut merupakan satu bagian. Akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam di dalam jiwa seseorang.
Di dalam kehidupan sehari-hari sering di kenal dengan istilah norma-norma atau kaidah, yaitu biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberi pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap bertindak, dan berprilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepati bersama.
  
DAFTAR PUSTAKA

Ø  Asmaran, As, Dr. pengantar ilmu tasawuf,PT. Raja Grafondo Persada, (Jakarta, 2002.).
Ø  Maskawaih, Ibn, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq, (Mesir:Hukuk al-Thabi’i, t.t).
Ø  Ghazali,Muhammat, Akhlak Seorang Muslim, (terj.&edit), Moh. Rifa’I dari judul asli Khuluq al-Muslim (semarang:Wicaksana, 1993),cet IV.
Ø  Hamka, Tasawuf  Perkembangan dan Pemurnian, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet. XI.  
Ø  An-Nawawi, Imam Abi Zakaria, Riyadhah al-Shalihin, Darul Qiblat li al-Tsaqafah, mekkah al-Arabiyah al-Su’udiyah,1990.
Ø  Arberry, A.J., Pasang Surut Aliran Tasawuf, (terj.) Bambang Herawan, dari judul asli Sufism: An Account of The Mystics of Islam, (Bandung: Mizan,1985), cet.I.


[1] Mahjuddin, kuliah ahklak tasawwuf (Jakarta: kalam mulia, 1996), hal 5
[2] Musthofa bimbingan menuju akhlak yang luhur (semarang:cv toha putra, 1976) hal 27
[3] Mahjuddin “ibid”hal 7
[4] Ibid., hal 261
[5]. Ibid, 34-35
[6]. Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2000, hal 18-19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar