BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Krisis yang tidak
kunjung selesai yang melanda bangsa Indonesia, baik yang berkaitan dengan
masalah politik, ekonomi, pendidikan maupun sosial, sebenarnya kalau diteliti
lebih dalam sebenarnya mengarah kepada persoalan yang paling mendasar, yaitu
moral. Jika memang persoalannya adalah politik, tentu penyelesaianya secara politik akan membuahkan hasil, tetapi
faktanya tidak. Nasib serupa juga menimpa berbagai pola penyelesaian dengan
macam-macam pendekatan. Hal ini menunjukkan bahwa di bawah permukaaan persoalan
ada persoalan lain yang lebih mendasar, lebih urgen, dan persoalan ini
merupakan inti persoalan yang jika tidak diselesaikan ajan melahirkan
persoalan-persoalan baru. Inti persoalan itu adalah krisis moral, maka penyelesaiannya pun harus menyentuh aspek-aspek
moral.
Sebenarnya kata akhlaq ini lebih pas dari pada kata moral, karena maknanya lebih komplek dan
mencakup keseluruhan pembahasan, baik yang terkait dengan masalah moral itu
sendiri maupun dengan tasawwuf. Akan tetapi, dalam dua istilah ini dipakai
untuk menunjukkan makna sama. Meskipun demikian, merasa perlu untuk menjelaskan
dua istilah pokok tersebut. Kata akhlaq
berasal dari kata khalaqa yang
bermakna ciptaan, keterciptaan, dan penciptaan. Dari kata ini pula lahir
istilah khalqun dan khuluqun. Yang pertama bermakna ciptaan
dalam arti fisik, sedangkan yang kedua bermakna ciptaan dalam arti
batin.kemudian muncullah kata khaliq
dan makhluq, yaitu sang maha pencipta
dan yang diciptakan. Dalam kontek ini, manusia sebagai makhluk memiliki dua
dimensi keterciptaan, yaitu khalqun
dan khuluqun. Khuluqun adalah dimensi manusia sebagai makhluq yang dilihat dari
sisi bentuk fisiknya, yakni aspek zahir. Sedangkan khuluqun adalah dimensi manusia sebagai makhluq yang diukur dari sisi bentuk batinnya, yaitu perilaku
psikisnya yang dimotori oleh kekuatan nalar
dan rasa. Nalar dan rasa
merupakan energi pembawaan, dengan dibantu berbagai memori dan informasi
mempengaruhi organ-organ tubuh sehingga menghasilkan prilaku. Dengan demikian,
akhlak merupakan perilaku batin yang memiliki rupa, ciri-ciri fisik, dan
karakter yang bersifat batin pula, yang refleksinya menampak dalam perbuatan,
adat- istiadat dan perilaku zahir manusia.
Sementara moral yang memiliki padana kata dengan etika atau budi pekerti maknanya lebih mengarah kepada watak manusia. Watak di
sini hanya mengacu kepada fenomina perilaku jiwa yang berada di permukaan,
bukan pada motor penggerak yang lebih mendalam sebagaimana yang dipahami dalam
istilah akhlaq. Kata ini (moral)
tidak memiliki makna ideologis sebagaimana yang termuat dalam kata akhlak. Ia hanya menunjukkan makna watak, karakter, kebiasaan dan kepercayaan trehadap suatu nilai, yang
kemudian merujuk makna akhlak, yaitu kualitas esensial seseorang atau sekelompok
manusia, termasuk bangsa. Secara umum, akhlak,
etika, budi pekerti, dan moral bermakna jiwa khas sekelompok mayarakat atau
seseorang, yang dari jiwa dan dari jiwa khas itu berkembang pandangan bangsa
tengtang baik dan buruk, yakni etikanya. Meskipun persoalan utama yang dikaji
dalam ilmu ahklaq adalah baik buruk suatu nilai yang terdapat dalam perilaku
manusia, dalam pengertian ahklaq tasawwuf
jauh lebih mendasar dari pada pengertian baik-buruk yang bersifat moralis atau
humanis, bukan sekedar mengisyaratkan kesopanan semata, tetapi lebih dalam lagi
sebagai konsep dan ajaran yang serba meliputi, yang menjadi pangakal pandangan
hidup tentang baik dan buruk. Oleh kerena itu, ajaran moral dalam makna yang seluas-luasnya
akan mencakup keseluruhan pandanagan dunia dan filsafat hidup.
Baik
dan buruk dalam kehidupan nyata akhirnya di definisikan sebagai kualiatas
hidup, sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia dalam hubungannya dalam
sesamanya, dengan alam semesta dan hususnya dengan Tuhan, perbuatan baik di istilahkan
amal sholeh, sedangkan perbuatan jahatdi
sebut kemaksiatan, dalam arti seluas-luasnya, amal sholeh adalah setiap tingkah
laku manusia yang menunjang usaha mewujudkan tatanan hidup sosialyang teratur
dan berbudi luhur.
Bertalian
dengan ini, makna akhlaq karimah (budi
pekerti luhur) adalah suatu kategori kebaikan dalam arti budi luhur yang
mewujud dalam kontek sosial. Maka dari itu, ketika Rosulullah menegaskan bahwa beliau di utus hanya untuk menyempurnakan
ahklaq, maka hadts ini di pahami dalamkaitannya dengan makna kemasyarakatan
keyakinan agama yang beliau ajarkan,. Keluhuran budimerupakan salah satu
konsekuensi nyata dari amalan taqwa. Sedangkan taqwa mendorong seseorang kearah
perbuatan-perbuatan yang di ridhai Allah langsung antara taqwa dan ahklah mulia
juga tercerrmin dalam sabda niabi yang lain :”yang paling banyak memasukkan orang
kedalam surga ialah taqwa kepada Allah dan budi luhur.”
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian dan ruang lingkup akhlak Islami
Kata akhlak di
ambil dari bahasa arab dengan kosa kata al-khulq
yang berarti kejadian, budi pekerti dan tabiat dasar yang ada pada manusia.
Setiap manusia dilahirkan dengan tabiat dasarnya yang dibawa dari Tuhan. Pada
umumnya yang ahli bidang ini memahami hal itu dari hadits Rasulullah SAW:
yang artinya: “Setiap manusia
dilahirkan berdasarkan fitrahnya, lalu kedua orang tuanyalah yang
mempengaruhinya menjadi yahudi, majusi, dan nasrani”.(HR.Muslim)
Kata fitrah pada
hadits ini diartikan dengan agama Ilahi yang mengandung ajaran kebenaran dan
kesucian. Ajaran inilah yang dibawa lahir oleh setiap manusia dan yang disebut
sebagai tabiat dasarnya, sehingga setiap individu selalu cenderung kepada
kebenaran dan kesucian serta benci kemaksiatan dan kezaliman.[1]
Dari akar kata al-khulq terbentuk kosakata al-akhlaq , al-khaliq dan al-makhluq.
Al-akhlaq adalah potensi yang tertanam
di dalam jiwa seseorang yang mampu mendorongnya berbuat (baik dan buruk) tanpa
didahului oleh pertimbangan akal dan emosi. Maksunya ialah perbuatan yang sudah
menjadi kebiasaan sehingga menjadi keperibadian.
Al-khaliq adalah Tuhan yang menciptakan
alam semesta, termasuk manusia. Dia bukan sekedar pencipta melainkan juga
pemelihara dan pemberi semua kebutuhan ciptaan-Nya.
Al-makhluq adalah semua alam semesta
termasuk isinya yang diciptakan Allah. Dalam teologi Islam, alam ciptaan ini
dijadikan sebagai argument logis atas keberadaan (wujud) Allah.
Pembentukan ketiga
kata itu dari kosakata yang sama menunjukkan bahwa ketiganya bagaikan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait dalam gerak kehidupan.
Dalam kajian teologi, adanya Allah sebagai pencipta tergantung kepada
makhluknya. Tanpa makhluk Allah tidak disebut pencipta. Makhluk sangat
membutuhkan hubungan baik dengan penciptanya. Tanpa kasih sayang penciptanya dia
tidak dapat hidup. Sedangkan akhlaq
merupakan jembatan penghubung antara khalik
dengan makhluk-Nya dan antara makhluk dengan sesama makhluk.
Di samping istilah
akhlak, ada beberapa istilah yang sering di sama artikan dengan oleh banyak
orang yaitu moral, etika dan susila.
Pada keempat
istilah-iatilah itu (termasuk istilah akhlak), dari segi makna, terdapat
persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada objek dan sifatnya,
sedangkan perbedaannya terletak pada indikator yang digunakan.
Definisi akhlak
yang diangkat di atas adalah hasil rumusan beberapa orang ahli di bidang ini,
seperti Imam al-Ghazali (1059-1111 M) dan Ibnu Maskawaih.
Akhlak sebagai
potensi yang bersemayam dalam jiwa menunjukkan bahwa akhlak itu abstrak, tidak
dapat diukur dan diberi nilai oleh indrawi manusia. Untuk memberi penilaian
baik atau buruknya akhlak seseorang dilihat dari perbuatan-perbuatan yang sudah
menjadi kebiasaannya, dan inilah yang disebut dengan perbuatan akhlak[2].
Perbuatan akhlak
adalah tingkah laku yang muncul dari dorongan akhlak yang berada di jiwa. Jika
tingkah laku itu baik dan sudah menjadi kebiasaannya disebut akhlaknya baik,
dan demikian sebaliknya. Dengan demikian, perbuatan seseorang adalah cerminan dari akhlaknya,
bukan sebagai akhlaknya sendiri.[3]
Ruang lingkup
akhlak islami adalah sama dengan ruang linhkup ajaran islam itu sendiri,
khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/islam)
mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap allah, hingga kepada
sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tidak
bernyawa).[4]
B. Ciri-ciri perbuatan akhlak Islami
Yang dimaksud
dengan perbuatan akhlak pada kontek ini ialah perilaku atau tindakan seseorang
sebagai penjelmaan (manifestasi) dai sifat mental yang terkurung di kalbunya.
Tetapi tidak semua perilaku atau perbuatan manusia digolongkan kepada perbuatan
akhlaknya. Yang dapat disebut sebagai perbuatan akhlak seseorang ialah:
- Perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan sehingga telah menjadi kepribadiannya.
- Perbuatan itu mudah dilakukan tanpa didahului oleh pertimbangan.
- Perbuatan itu timbul dari dorongan hati atau keinginan hati, bukan karena terpaksa.
- Perbuatan itu dilakukan dengan sungguh hati, bukan sekedar bercanda dan kajian ilmiah.
- Perbuatan itu dilakukan dengan ikhlas (untuk perbuatan baik ).
- Tidak merasa bersalah atau malu setelah melakukannya karena sudah menjadi kebiasannya sehari-hari.
Perbuatan buruk
yang dilakukan hanya satu atau dua kali sepanjang hayat, belum dapat dijadikan
sebagai ukuran akhlaknya yang buruk. Di samping karena belum termasuk
kebiasaan, perbuatan itu dilakukan bukan atas kehendak hati dan pelakunya
karena ia masih menyesali perbuatannya. Suatu perbuatan buruk apabila sudah
menjadi kebiasaan, jika dilakukan tidak melahirkan rasa penyesalan.
C. Hubungan kedua orang tua
Anak merupakan
berkat khusus yang Tuhan percayakan kepada sebuah keluarga. Beberapa hal
penting yang harus diperhatikan dalam hubungan antara orang tua dan anak.
1. Kasih yang
merata
Setiap
manusia merupakan ‘gambar Allah’, dan mempunyai kekayaan kepribadian
tersendiri. Hal itu menjadi tantangan untuk pendidikan anak-anak agar orang tua
menggali, menghargai, dan mengembangkan setiap bakat anak. Banyak anak
mengalami frustrasi dalam perkembangannya karena diberi cap tertentu oleh orang
tuanya. Mereka terus dibandingkan dengan kakak atau adiknya, sehingga harga
diri tertekan. Tekanan itu dapat membentuk jiwa pemberontak.
Akibat kasih yang tidak merata dan tidak adanya kesatuan antara kedua orang tua maka akibatnya akan dipanen pada masa mendatang (contoh Ishak dan Ribka)
Alkitab mengajarkan bahwa “Allah tidak memandang bulu”, dan para tuan dan para hamba diperingatkan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan yang “tidak memandang muka” (Roma 2:11; Efesus 6:9). Dengan demikian setiap orang tua Kristen harus mengasihi anak-anaknya tanpa Pilih kasih.
Akibat kasih yang tidak merata dan tidak adanya kesatuan antara kedua orang tua maka akibatnya akan dipanen pada masa mendatang (contoh Ishak dan Ribka)
Alkitab mengajarkan bahwa “Allah tidak memandang bulu”, dan para tuan dan para hamba diperingatkan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan yang “tidak memandang muka” (Roma 2:11; Efesus 6:9). Dengan demikian setiap orang tua Kristen harus mengasihi anak-anaknya tanpa Pilih kasih.
2. Menerima kehadiran anak dengan sukacita
Suami
dan istri harus menerima kehadiran anak dengan rasa sukacita, hal tersebut
menjadi titik tolak yang menentukan dalam pendidikan orang tua terhadap anak
dan juga menentukan dalam perkembangan anak itu sendiri (contoh Yusuf).
Banyak anak mengalami komplikasi jiwa, bilamana mereka makin lama makin menyadari bahwa kehadiran mereka sebenarnya tidak diinginkan oleh orang tuanya. Mereka haus akan kasih dan mencari kompensasi kasih di luar rumahnya.
3. Mendidik anak secara bersama
Banyak anak mengalami komplikasi jiwa, bilamana mereka makin lama makin menyadari bahwa kehadiran mereka sebenarnya tidak diinginkan oleh orang tuanya. Mereka haus akan kasih dan mencari kompensasi kasih di luar rumahnya.
3. Mendidik anak secara bersama
Mendidik
anak bukanlah sesuatu yang mudah. Orang tua dituntut dalam seluruh
kepribadiannya, bahkan keadaan rohaninya diuji. Anak-anak membutuhkan waktu dan
perhatian kedua orang tuanya. Para ayah tidak
boleh menyerahkan masalah pendidikan kepada para ibu saja, demikian sebaliknya.
Mereka harus bertanggung jawab atas keadaan anak-anaknya. Mereka harus
bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan pendidikan anak-anak. (contoh
Yusuf dan Maria)
4. Menjaga Komunikasi
4. Menjaga Komunikasi
Tantangan
yang dihadapi oleh orang tua dalam pendidikan anak, khususnya anak yang
memasuki masa remaja adalah jurang komunikasi (contoh Yusuf dan Maria). Memang
wajarlah anak-anak remaja dalam pergumulan pertumbuhan jiwa dan tubuhnya
mengalami fase di mana mereka berkata, “orang tuaku tidak mengerti aku, bahkan
aku tidak mengerti diriku sendiri.” Sebab itu sangat perlu bagi orang tua
menjembatani jurang itu. Orang tua harus terjun dalam minat dan alam pikiran
mereka, mengambil kesempatan bercakap-cakap bila kesempatan itu muncul,
menghargai dan menampung pikiran dan pandangan mereka, meskipun kurang baik
dalam pengertian kita, dan terutama mengajak mereka secara informal membaca
Alkitab dan berdoa. Orang tua harus menyadari bahwa di balik segala penolakan
terhadap perkara-perkara rohani, hiduplah jiwa anak yang kosong dan kacau, yang
sebenarnya sangat merindukan Tuhan.
5. Bagaimana
jika orang tua bekerja?
Orang
tua harus berdoa bersama dan bertanya kepada Tuhan dengan membentangkan situasi
keluarga di hadapan Tuhan, apakah Tuhan menghendaki mereka berdua bekerja atau
salah satu saja yang bekerja, mereka akan mendapat dari Tuhan sejahtera untuk
hal itu. Prinsipnya anak-anak harus tetap diperhatikan. Dan orang tua harus
tetap dalam kesadaran bahwa menikah adalah suatu panggilan dan tanggung jawab
di hadapan Tuhan yang tidak boleh dilalaikan atau digampangkan.
D. Akhlak guru dan murid
Salah satu adab
seorang murid kepada gurunya adalah tidak melawan gurunya secara lahir dan
tidak menolaknya dalam batin. Orang yang durhaka secara lahir berarti
meninggalkan adabnya. Orang yang menolak secara batin berarti menolak
pemberiannya. Bahkan, sikap tersebut bisa menjadi permusuhan dengan gurunya.
Karena itu, dia harus bisa menahan diri untuk tidak menentang guru secara lahir
maupun secara batin dan banyak membaca do’a:
“Wahai Tuhan kami,
beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman terlebih dahulu
daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun dan Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hasyr: 10).
Apabila melihat
dari gurunya ada sesuatu yang dibenci dalam agama, hendaklah dia mencari tahu
mengani hal itu dengan perumpamaan agar tidak menyebabkan gurunya kurang senang
kepadanya. Manakala melihat sesuatu aib pada gurunya, hendaklah murid menutupi
serat berprasangka buruk terhadap dirinya sendiri dan menakwilkan bahwa gurunya
dalam batas agama. Apabila dia menemukan alas an bagi gurunya yang dibenarkan
dalam agama, maka hendaklah dia memohonkan ampun untuk gurunya dan mohon agar
gurunya diberi taufik, sadar, dan terpelihara. Jangan menganggap gurunya
tersesat dan jangan memberitahukan hal itu kepada orang lain. Ketika kembali
kepada gurunya pada hari atau waktu yang lain, hendaklah dia menganggap bahwa
kekeliruan gurunya itu telah hilang, dan sesungguhnya gurunya telah berpindah
ke tingkatan yang lebih tinggi yang belum dijangkaunya.[5]
Kekeliruan terjadi
karena kelalaian, suatu kejadian atau pemisah di antara dua keadaan. Karena
pada tiap-tiap dua keadaan itu ada pemisah dan kembali kepada kemurahan agama,
seperti tanah kosong diantara dua kampong atau halaman di antara dua rumah.
Selesai dari tingkatan pertama dan akan memasuki tingkatan berikutnya. Pindah
dari suatu kewalian kepada tingkat kewalian yang berikutnya. Dia melepas sebuah
mahkota kewalian dan mengenakan mahkota kewalian yang lain, yang lebih tinggi
dan lebih mulia. Setiap hari, kedekatan mereka bertambah kepada Allah SWT.
Apabila guru
sedang marah dan wajahnya terlihat tidak menyenangkan, janganlah
meninggalkannya. Tetapi dia harus memeriksa batinnya, mungkinkah dia telah
melakukan adab yang kurang baik terhadap gurunya atau telah melakukan suatu
kemaksiatan kepada Allah SWT dengan meninggalkan perintah atau melakukan
pelanggaran?. Dia harus memohon ampun dan barutaubat kepada-Nya. Dia juga harus
bertekad tidak akan mengulanginya, meminta maaf kepada guru, merendahkan diri
di hadapannya, menyenangkannya dengan tidak akan melawannya, menemaninya
selalu, dan menjadikannya sebagai perantara antara dia dengan Tuhannya, serta
jalan yang akan menyampaikannya kepada-Nya. Seperti orang yang hendak datang
kepada raja, sedang raja tidak mengenalinya, maka dia harus berusaha untuk
setiap halangan yang menghadangnya, atau mengajak salah seorang yang dekat
dengan raja untuk menunjukkan bagaimana caranya dapat berjumpa dengan raja. Dia
harus belajar adab dan tata cara bercakap-cakap dengan raja atau hadiah apa
yang sesuai untuknya, atau sesuatu yang tidak dimilikinya dan apa yang mesti
diperbanyak.[6]
Selanjutnya, dia
harus mendatangi istana dari pintu depan. Jangan lewat pintu belakang sehingga
nanti akan dicela dan mendapatkan kehinaan serta tidak memperoleh apa yang dia
inginkan dari sang raja. Sesungguhnya, setiap orang yang hendak memasuki sebuah
istana mesti ada tata cara dan ada pelayan atau petugas yang akan membimbing
tangannya atau memberikan isyarat kepadanya untuk mempersilahkan duduk di
tempat yang telah disediakan. Dia mesti mengikuti supaya tidak mendapatkan
kehinaan atau dituduh sebagai orang yang tidak beradab dan bodoh.
Di antara adab
yang harus dimiliki oleh seorang murid adalah murid tidak diperkenankan
berbicara di depan guru kecuali seperlunya, dan tidak menampakkkan sedikit pun
keadaan dirinya di depan guru. Dia juga tidak sepatutnya menggelar sajadahnya
di depan guru kecuali pada waktu melakukan shalat. Jika telah selesai shalat,
hendaknya dia segera melipat kembali sajadahnya. Murid harus selalu siap
melayani gurunya dan orang yang duduk diruangannya dengan senang hati, ringan
dan cekatan. Seorang murid harus bersunguh-sungguh jangan sampai menggelar
sajadahnya sedang di atasnya ada orang yang lebih tinggi tingkatannya. Dia juga
tidak boleh mendekatkan sajadahnya kepada sajadah orang yang lebih tinggi itu
kecuali dengan izinnnya. Karena hal demikian dianggap kurang beradab bagi
mereka.
Bila menemukan
kemusykilan gurunya, seorang murid hendaknya diam meskipun memiliki penjelasan
dan jawaban mengenainya. Akan tetapi, dia boleh mengambil apa yang telah Allah
SWT bukakan baginya melalui lisan gurunya, kemudian menerima dan
mengamalkannya. Jika melihat ada kekurangan dalam jawaban gurunya, seorang
murdi tidak boleh membantah atau menolaknya. Bahkan, dia harus bersyukur kepada
Allah SWT atas apa yang telah diberikan kepadanya berupa keutamaan, ilmu, dan
nur yang disembunyikan dalam dirinya. Dia tidak boleh memperpanjang
perbincangannya dan tidak boleh mengatakan mengatakan,”Guru telah salah dalam
masalah ini.” Dia tidak boleh membantah ucapannya kecuali terjadi secara
spontan dan tidak sengaja. Jika demikian, dia harus segera menghantikan
ucapannya dan menggantikan dengan diam, dan taubat serta bertekad tidak akan
mengulanginya.
Murid juga tidak
sepatutnya banyak bergerak sewaktu mendengar di depan guru kecuali karena
mendapat isyarat darinya. Dia juga tidak sepatutnya melihat pada dirinya
memiliki suatu keadaan kecuali terjadi padanya suatu hal yang memaksanya untuk
membedakan dan memilih. Apabila hal itu telah reda, hendaknya dia kembali
kepada keadaan semula, diam penuh adab, tawadhu’ dan menyembunyikan rahasia
yang telah Allah SWT berikan kepadanya. Sungguh, kami telah menyebutkan hal
ini, yakni tentang sikap, perbuatan atau ucapan yang tidak baik bagi seorang
murid, tetapi kini justru kadang terjadi di madrasah atau pondok mereka. Memang
tidak dipungkiri, murid yang dapat melakukan adab yang demikian sempurna itu
termasuk murid yang benar dan bersungguh-sungguh. Sehingga makna sesuatu yang
telah dia dengar itu menyalakan cahaya kebenaran dan menguatkannya. Kemudian
dia akan sibuk di dalam cahaya itu dan tenggelam di dalamnya. Anggota badannya
bergerak di tengah kaum, namun sebenarnya dia berada di sebuah batas yang penuh
dengan kelezatan watak dan keinginan. Tiap orang akan membayangkan dekat orang
yang merindukannya.
Murid yang
bersungguh-sungguh, api kerinduannya tidak akan padam dan pancarannya tidak
akan pernah redup. Kekasihnya tidak pernah ghaib dan penghiburnya tidak akan
pernah jauh. Murid seperti ini akan senantiasa bertambah dalam kedekatan,
kelezatan, dan kenikmatan. Tidak ada yang dapat mengguncangkan atau merubah
keadaannya selain ucapan Dzat Yang dikehendakinya dan pembicaraan Dzat Yang
Menolongnya. Meskipun pada saat itu, didekatnya banyak syair.
Nyanyian,
suara-suara teman-teman syetan, para pengikut hawa nafsu, dan para pengejar
kesenangan. Seorang murid hendaknya tidak menentang seseorang pada saat ia
mendengarkan dan tidak menolak seseorang dalam menuntut sesuatu yang diinginkan
dan dirindukannya, berupa surga dan bidadari serta melihat Allah SWT di
akhirat, yang mana ia telah zuhud terhadap dunia, kelezatan dan kesenangannya,
anak-anak dan wanitanya. Ia telah berani bersabar atau keburukan, ujian dan
cobaan di dunia serta berpaling kepada anak-anak di akhirat. Hendaknya dia
menyerahkan semua itu kepada para guru yang ada. Sesungguhnya mereka itu dalam
kekuasaan guru.
Bila belajar pada
seseorang guru, dia harus percaya bahwa dikampung itu tidak ada orang yang
lebih utama dari gurunya, sehingga dia akan berhasil mendapatkan apa yang dia
cita-citakan, dan sang guru akan dapat menghadapkan kepada Allah SWT. Murid
harus menjaga rahasianya ketika berkhidmat bersama Allah SWT dalam mencapai
kehendaknya. Dia harus menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh gurunya adalah
sesuatu yang sesuai dengan keadaannnya.
Sesungguhnya
melawan guru adalah racun yang sangat berbahaya. Jadi, jangan sampai murid
menentang guru, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. Dia
tidak boleh menyembunyikan sedikitpun keadaan dan rahasianya terhadap guru, dan
tidak memperlihatkan kepada orang lain apa yang telah diperintahkan kepadanya.
Tidak sepatutnya bagi seorang murid bertekad meminta kemurahan atau meminta
kembali kepada apa yang telah ditinggalkannya karena Allah SWT. Sesungguhnya
hal itu merupakan kesalahan besar sekaligus kerusakan kehendak bagi ahli
tharekat. Disebutkan dalam hadist Rasulullah SAW,”Orang yang kembali kepada
keadaannya seperti anjing yang muntah lalu memakannya lagi”, jangan sampai
menjadi kurang beradab. Jika terjadi kekurangan dalam melaksanakan apa yang
telah diisyararatkan gurunya, maka murid harus memberitahukan hal itu kepada
gurunya sehingga guru akan memberikan arahan yang sesuai dengannya dan
mendoakan agar mendapatkan taufik, kemudahan dan keberhasilan.
BAB III
PENUTUP
Ø
Kesimpulan
Dari pembahasan di
atas dapat kita tarik beberapa kesimpulan yang mendasari penulisan ini, di
antaranya:
Akhlak adalah hal
yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup segala
pengertian tingkah laku, tabiat, karakter manusia yang baik maupun yang buruk
dalam hubungannya dengan khaliq atau dengan sesama makhluk.
Akhlak etika dan
moral memang mempunyai banyak pengertian akan tetapi akhlak etika dan moral
tersebut merupakan satu bagian. Akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam di
dalam jiwa seseorang.
Di dalam kehidupan
sehari-hari sering di kenal dengan istilah norma-norma atau kaidah, yaitu
biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberi pedoman atau patokan tertentu
bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap bertindak, dan berprilaku
sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepati bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Asmaran, As, Dr. pengantar ilmu tasawuf,PT. Raja Grafondo Persada,
(Jakarta,
2002.).
Ø
Maskawaih, Ibn, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq,
(Mesir:Hukuk al-Thabi’i, t.t).
Ø
Ghazali,Muhammat, Akhlak Seorang Muslim, (terj.&edit), Moh.
Rifa’I dari judul asli Khuluq al-Muslim (semarang:Wicaksana, 1993),cet IV.
Ø
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurnian, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet. XI.
Ø
An-Nawawi, Imam Abi Zakaria, Riyadhah al-Shalihin, Darul Qiblat li
al-Tsaqafah, mekkah al-Arabiyah al-Su’udiyah,1990.
Ø
Arberry, A.J., Pasang Surut Aliran Tasawuf, (terj.) Bambang
Herawan, dari judul asli Sufism: An Account of The Mystics of Islam, (Bandung:
Mizan,1985), cet.I.
[1]
Mahjuddin, kuliah ahklak tasawwuf (Jakarta: kalam mulia, 1996), hal 5
[2] Musthofa
bimbingan menuju akhlak yang luhur (semarang:cv toha putra, 1976) hal 27
[3]
Mahjuddin “ibid”hal 7
[4] Ibid.,
hal 261
[5]. Ibid,
34-35
[6]. Abudin
Nata, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2000, hal 18-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar