BEBERAPA FILSUF, HIDUP DAN KARYANYA
Filsuf (atau, filosof) atau disebut juga ahli
pikir ialah mereka yang gemar menilik sesuatu realitas dengan
kemerdekaan berpikir yang ada padanya sampai sesuatu itu
'"terbongkar" sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Apa yang dilakukan
oleh para filsuf tetap kembali pada suatu usaha menemukan kebenaran,
meskipun jalan, metode yang dipakai berbeda-beda antara satu filsuf dengan
filsuf yang lain. Oleh karenanya, tak heran bila muncul istilah-istilah seperti
"filsafat Plato", "filsafat Thomas", "filsafat
Kant", "filsafat Habermas", dan seterusnya, di sampingnya
"filsafat Yunani", "filsafat India", "filsafat
eksistensialisme", dsb. Itu karena memang produk pemikiran masing-masing
filsuf tersebut adalah khas, tiada duanya, baik dari
segi: pola pemikirannya, titik tolak di mana bermula, bahasa yang digunakannya,
cara penyampaiannya dan posisi (berpikir)nya, meskipun para filsuf sendiri
hidup dalam konteks sejarah dengan segala suasana batin dan pemikiran yang
melingkupinya.
Apa yang diberikan oleh para filsuf kepada
masyarakat dunia, kalau boleh disebut demikian, selalu menarik untuk ditinjau.
Bagaimana suatu persoalan dirumuskan, ditelaah, bagaimana jawaban-jawaban dan
pertanyaan-pertanyaan selalu diformulasi kembali sepanjang jaman, hanya dalam
rangka mencari kebenaran untuk kemaslahatan kehidupan manusia,
menurut visi masing-masing. Masalah apakah kemudian suatu pemikiran disepakati
sebagai keliru bahkan salah, karena telah dicapai pemikiran lain yang lebih
baik, adalah masalah lain. Sejarah adalah sejarah yang tidak mungkin dihapus.
Adanya sesuatu hari ini mau tak mau, suka tak suka adalah sebagai akibat dari
kontak dengan masa lalu. Di sinilah dialektika terjadi, saling berdebat, saling
menanggapi.
Pemikiran para filsuf, apalagi filsuf besar,
adalah merupakan harta dunia yang tiada terbilang nilainya. Jelas ia memberi
sumbangan bagi kemajuan berpikir berikutnya. Sumbangannya bagi sejarah
peradaban dunia patut untuk disampaikan senantiasa oleh kita yang hidup di
jaman yang katanya modern ini; minimal sebagai ungkapan terima kasih kita
kepada mereka, yang pemikirannya langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
kehidupan kita hari ini. Untuk itulah adanya "Filsuf, Hidup dan Karyanya" ini. Kita mau
mengenal filsuf dari kehidupan dan karya-karyanya. Insya Allah, bagian ini
secara periodik akan membahas filsuf dengan pemikiran-pemikiran dan
kehidupannya, sejak filsafat Yunani Klasik hingga filsafat yang berkembang
akhir-akhir ini.
SOKRATES
Sokrates lahir di Athena tahun 470 S.M.
dan meninggal tahun 399 S.M. Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan
sofisme di Athena. Pada hari tuanya Sokrates melihat kota tumpah darahnya mulai
mundur, setelah mencapai puncak kebesaran yang gilang-gemilang. Sokrates
bergaul dengan semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filsuf
dengan keunikannya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya,
melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Menurut teman-temannya:
Sokrates demikian adilnya, sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu
pandai menguasai dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan
merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya, sehingga ia tak pernah
khilaf dalam menimbang baik dan buruk.
Sokrates mempunyai tujuan, mengajar orang mencari
kebenaran. Sikapnya itu adalah suatu reaksi terhadap ajaran sofisme yang
merajalela waktu itu. Guru-guru sofis mengajarkan bahwa "kebenaran yang
sebenar-benarnya tidak tercapai." Sebab itu tiap-tiap pendirian dapat
"dibenarkan" dengan jalan retorika. Dengan daya kata dicoba
memperoleh persetujuan orang banyak. Apabila orang banyak sudah setuju, itu
dianggap sudah benar. Dengan cara demikian, pengetahuan menjadi
dangkal.
Terhadap aliran yang mendangkalkan pengetahuan
dan melemahkan rasa tanggungjawab itulah, Sokrates memberontak. Dengan
filosofinya yang diamalkan dengan cara hidupnya, ia mencoba memperbaiki
masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawabnya. Ia
selalu berkata, yang ia ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Karena itu
ia bertanya. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan.
Sesungguhnya inilah permulaan dialektik. Dialektik asal
katanya dialog, artinya bersoal jawab antara dua orang.
Guru-guru sofis yang mengobral "ilmu"
di tengah-tengah pasar ditantangnya dengan cara ia berguru. Ia sebagai yang
tidak tahu itu lalu ingin tahu dan bertanya. Tiap jawaban atas pertanyaannya
disusul dengan pertanyaan baru. Demikianlah seterusnya. Pertanyaan itu makin
lanjut makin mendesak. Akhirnya guru sofis tidak sanggup lagi menjawab dan
mengaku tidak tahu. Lalu Sokrates mengunci tanya-jawab tadi dengan berkata:
"Demikianlah adanya, kita kedua-duanya sama-sama tidak tahu."
Dengan caranya yang berani dan jujur itu Sokrates
banyak memperoleh kawan. Pemuda Athena sangat cinta kepadanya. Tetapi
sebaliknya, lawannya juga banyak, terutama guru-guru sofis serta
pengikut-pengikutnya yang berpolitik, yang memperoleh kemenangan dengan jalan
retorika. Akhirnya Sokrates diajukan ke muka pengadilan rakyat dengan dua macam
tuduhan. Pertama, bahwa ia meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara, dan
mengemukakan dewa-dewa baru. Kedua, bahwa ia menyesatkan dan merusak fiil
(tingkah laku, perangai) pemuda.
Namun, pun dalam pembelaannya Sokrates tetap
tegas. Melihat susunan mahkamah rakyat itu, sudah terang ia akan disalahkan dan
dihukum. Tetapi pantang baginya akan menjilat, beriba-iba mengambil hati para
hakim supaya hukumannya diperingan. Dengan tangkas ia mengatakan, bahwa ia
tidak bersalah melainkan berjasa pada pemuda dan masyarakat Athena. Bukan
hukuman, melainkan upah yang harus diterimanya.
Alangkah terkejutnya kawan-kawannya mendengarkan
ucapannya itu. Para hakim tercengang, perasaan mereka tersinggung. Dengan suara
terbanyak ia dihukum mati dengan meminum racun. Sokrates sedikitpun tidak
gentar. Ia berkata dengan suara tenang, bahwa ia siap dan bersedia menjalani
hukumannya.
Dengan hati yang tetap pula ia menolak semua
bujukan kawan-kawannya untuk lari dari penjara dan menyingkir ke kota lain.
Sokrates, yang selalu patuh kepada undang-undang, tidak mau durhaka pada saat
ia akan meninggal. Cara matinya juga memberikan contoh, betapa seorang filsuf
setia kepada ajarannya.
Sokrates, seperti tersebut di atas, tidak pernah
menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan
filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Filosofinya mencari kebenaran. Ia bukan
ahli pengetahuan, melainkan pemikir.
Karena Sokrates tidak menuliskan filosofinya,
maka sulit sekali mengetahui ajaran otentiknya. Ajarannya itu hanya dikenal
dari catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang bisa
diyakini, karena ia sendiri bukan filsuf. Untuk mengetahui ajaran Sokrates,
orang banyak bersandar kepada Plato. Tetapi kesukarannya ialah bahwa Plato
dalam tulisannya banyak menuangkan pendapatnya sendiri ke dalam mulut Sokrates.
Dalam uraian-uraiannya, yang kebanyakan berbentuk dialog, hampir selalu
Sokrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar seolah-olah Sokrates
yang berkata.
Meskipun murid-murid Sokrates memberi isi
sendiri-sendiri kepada ajaran gurunya, ada satu hal yang mereka sepakat, yaitu
tentang metode Sokrates. Tujuan filosofi Sokrates adalah
mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sinilah letak
perbedaannya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan bahwa semuanya relatif
dan subjektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Seokrates
berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap adanya dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikirkan
dirinya sendiri, melainkan setiap kali ia berdua dengan orang lain, dengan
tanya-jawab. Orang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawan, melainkan
sebagai kawan yang diajak bersama mencari kebenaran. Ia tidak mengajarkan,
melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Sokrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang
tetap dari segala sesuatu. Karena itu ia selalu bertanya: Apa itu? Apa yang
dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil? Pertanyaan
tentang "apa itu" harus lebih dahulu daripada "apa sebab".
Ini biasa bagi manusia dalam hidup sehari-hari. Anak kecil pun mulai bertanya
dengan "apa itu". Oleh karena jawab tentang "apa itu",
dicarilah dengan tanya-jawab yang makin meningkat dan mendalam, maka Sokrates
diakui pula - sejak keterangan Arsitoteles - sebagai pembangun
dialektik pengetahuan. Tanya-jawab, yang dilakukan secara meningkat
dan mendalam, melahirkan pikiran yang kritis.
Oleh karena Sokrates mencari kebenaran yang tetap
dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian,
maka jalan yang ditempuhnya adalah metode induksi dan definsi.
Induksi menjadi dasar definisi.
Induksi di sini berlainan artinya dengan induksi
sekarang. Menurut induksi paham sekarang, penyelidikan dimulai dengan
memperhatikan yang spesifik dan dari sana - dengan mengumpulkan - dibentuk
pengertian yang berlaku umum. Induksi yang menjadi metode Sokrates adalah
memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai yang umum dari yang
spesifik. Ia mencoba mencapai definisi dengan contoh dan persamaan, dan diuji
pula dengan saksi dan lawan saksi. Seperti disebut di atas, dari kawan
bersoal-jawabnya, yang masing-masing terkenal sebagai ahli dalam vak-nya
sendiri-sendiri, dikehendakinya definisi tentang "berani",
"indah", dan sebagainya. Pengertian yang diperoleh itu diujikan
kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata. Apabila dalam pasangan itu
pengertian itu tidak mencukupi, maka dari ujian itu dicari perbaikan definisi.
Definisi yang tercapai dengan cara itu diuji kembali untuk mencapai perbaikan
yang lebih sempurna. Demikian seterusnya.
Contoh Sokrates bekerja ini dapat diketahui dari
dialog-dialog Plato yang mula-mula, di mana caranya berfilosofi masih dekat
sekali dengan Sokrates.
Dengan jalan itu, induksi kepada definisi, hasil
yang dicapai tidak lagi takluk kepada paham subjektif seperti yang diajarkan
kaum sofis, melainkan umum sifatnya dan berlaku untuk selama-lamanya. Induksi
dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
Dengan caranya itu, Sokrates membangun dalam jiwa
orang bahwa kebenaran tidak diperoleh begitu saja, melainkan dicari dengan
perjuangan seperti memperoleh barang yang tertinggi nilainya. Dengan cara
mencari kebenaran seperti itu terlaksana pula tujuan yang lain, yaitu membentuk
karakter. Sebab itu, kata Sokrates, budi ialah tahu.
Manusia yang dirusak oleh ajaran sofisme mau dibentuknya kembali.
Budi ialah tahu. Inilah intisari dari etika Sokrates. Maksudnya, budi baik timbul dengan
pengetahuan. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Maka,
siapa yang mengetahui hukum tentulah bertindak sesuai dengan pengetahuannya
itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena
budi berdasar atas pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari. Nyatalah bahwa
etika Sokrates intelektual sifatnya, disamping juga rasional. Apabila budi
ialah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas kemauannya sendiri, bebuat
jahat. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan pertimbangan yang benar, maka
"jahat" hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang
tidak memiliki pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang tersesat
adalah korban dari kekhilafannya sendiri. Tersesat bukanlah perbuatan yang
disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas kemauannya sendiri.
Oleh karena budi ialah tahu, maka siapa yang tahu
akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa berbuat baik. Untuk itu orang pandai
perlu menguasai diri dalam segala keadaan. Dalam suka mupun duka. Dan apa yang
pada hakikatnya baik, adalah juga baik bagi diri kita sendiri. Jadi, menuju
kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Apa itu "kebahagiaan hidup", tidak
pernah dipersoalkan oleh Sokrates, sehingga murid-muridnya memberi pendapat
mereka sendiri-sendiri yang bertentangan.
Menurut Sokrates, manusia itu pada dasarnya baik.
Seperti dengan segala sesuatu yang ada itu ada tujuannya, begitu juga
hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga
dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan
budinya.
Dari pandangan etika yang rasional itu, Sokrates
sampai kepada sikap hidup yang penuh dengan rasa keagaamaan. Menurut
keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik daripada berbuat zalim. Sikap itu
diperlihatkannya, dengan kata dan perbuatan, dalam pembelaannya di muka hakim.
Sokrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya
menurut ujud yang tertentu. Itu, katanya, adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada
Tuhan dipercayakannya segala-galanya yang tak terduga oleh otak manusia. Jiwa
manusia itu dipandangnya sebagai bagian dari Tuhan yang menyusun alam. Sering
pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasakannya sebagai suara dari dalam,
yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang
disebutnya "daimonion". Bukan ia saja yang dapat demikian,
katanya. Semua orang dapat mendengarkan suara daimonion (suara
batin) itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau.
Juga dalam segi pandangan Sokrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semua itu menunjukkan kebulatan, keutuhan, konsistensi ajarannya, yang menjadikan ia seorang filsuf yang terutama seluruh masa.
P L A T O
Plato dilahirkan di Athena, di tengah kekacauan perang
Peloponesos tahun 427 S.M., dan meninggal di sana tahun 347 S.M. Ia berasal
dari keluarga aristokrat yang turun-temurun memegang peranan penting dalam
politik Athena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang negara.
Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk
mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu. Sejak berumur 20 tahun Plato
mengikuti pelajaran Sokrates. Pelajaran itu yang memberi
kepuasan baginya. Pengaruh Sokrates semakin lama semakin mendalam padanya. Ia
menjadi murid Sokrates yang setia. Sampai akhir hayatnya, Sokrates tetap
menjadi pujaannya. Sokrates bagi Plato adalah seorang yang sejujur-jujurnya dan
seadil-adilnya, orang yang tak pernah berbuat salah. Hukuman yang ditimpakan
kepada Sokrates dipandangnya suatu perbuatan zalim semata-mata. Ia sangat sedih
dan menamakan dirinya sebagai seorang anak yang kehilangan bapak. Ia sedih,
tetapi terpaku karena pendirian Sokrates yang menolak kesempatan untuk
melarikan diri dari penjara, dengan memperingatkan ajarannya, "Lebih baik
menderita kezaliman daripada berbuat zalim."
Plato mempunyai kedudukan istimewa sebagai
seorang filsuf. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan filosofi.
Pandangan yang dalam dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya dengan gaya
bahasa yang indah. Tidak ada seorang filsuf sebelumnya yang dapat dibandingkan
dengannya dalam hal ini. Juga sesudahnya tak ada.
Sesudah Sokrates dihukum mati, Plato bersama
teman-teman yang sealiran pindah ke Megara untuk meneruskan cita-cita guru
mereka. Pada umur 40 tahun Plato pindah ke istana Dionysios I di kota Sirakus, Sisilia. Melalui
raja itu ia ingin merealisasikan cita-citanya tentang penguasa yang adil.
Namun, ia gagal total dan hampir saja dijual sebagai budak di pasar kota Aegina
andaikata tidak kebetulan dilihat dan ditebus oleh seorang temannya. Plato
akhirnya kembali ke Athena. Waktu temannya itu menolak untuk menerima kembali
uang tebusan, Plato memakai uang itu untuk mendirikan Akademia, sekolah tersohor tempat ia
mengajar. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama didirikan dengan
uang harga penjualan seorang filsuf. Plato kembali ke Sisilia dua
kali dan mencoba untuk mempengaruhi para penguasa di sana, tetapi selalu gagal.
Tahun-tahun terakhir hidupnya dipergunakannya untuk mengajar di Akademia.
Selama kehidupan yang cukup ramai itu, Plato
rajin menulis. Hampir semua tulisan Plato berupa dialog; dalam dialog itu pada
umumnya Plato memakai Sokrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya. Semua
karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya, masih ada. Yang paling terkenal adalah 10
buku (atau bab) Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran
Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh
terhadap pemikiran Eropa selanjutnya. Pernyataan Alfred N. Whitehead bahwa seluruh filsafat
pasca-Plato hanyalah sekadar catatan kaki terhadap karya Plato tidak jauh dari
kebenaran.
Filsafat Plato yang sampai kepada kita melalui
karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada
dan Menjadi,
antara Satu dan Banyak, antara Tetap
dan Berubah-ubah.
Manakah dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal
filsafat yang memang sedang mencari satu asas utama? Manakah dari kedua
alternatif itu dapat dianggap sebagai kenyataan (dan pengetahuan) yang sejati
(Yunani: "ontos on", "benar-benar ada"),
manakah yang semu (Yunani: "doza",
"perkiraan" atau "maya")? Dalam dialog-dialognya, Plato
menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan
dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan
itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan
(Inggris: Innate) sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan
segala keragu-raguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman
jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh
karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang
dialami setiap manusia
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu
dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan
berasal dari dunia pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea.
Kata Yunani itu mempunyai akar "Wid" dengan arti
"melihat" dengan mata kepala (Latin: "Videra",
Inggris: "Vision") maupun menatap dengan mata batin
sampai "mengetahui" (Jerman: "Wissen"; Inggris: "Wisdom").
Menurut Plato, pada awalnya, jati diri atau jiwa manusia hidup di "dunia
idea-idea" atau surga, dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal
jiwa berada di dunia fana - maka secara bawaan - ia menatap dengan batinnya idea-idea
sempurna dan abadi; umpamanya idea tentang kebaikan, kebenaran, keindahan,
keadilan, tetapi juga idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa,
jiwa manusia itu "jatuh" dari dunia idea-idea itu ke dalam dunia ini
sampai ke dalam "penjara" yaitu tubuh manusia. Melalui indera
tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas
bayang-bayang atau "bayangan" dari idea-idea yang "semula"
pernah ditatapnya secara murni. Lalu manusia ingat akan idea-idea murni itu
yang "dahulu kala" ditatapnya dan yang secara bawaan memang
menemaninya secara terselubung.
Untuk lebih memahami pikiran Plato tentang idea,
kita dapat memakai perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia,
yaitu "perumpamaan tentang gua". Bayangkan sebuah gua; di dalamnya
ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap
tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu
masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka)
ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat
dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena
itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada
satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang
dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan
matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata
di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang
menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap
realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari
benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua.
Plato memakai perumpamaan itu dalam rangka
usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau
mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bukan lagi realitas inderawi, yang hanya
cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi (patung-patung yang meniru
apa yang nyata-nyata ada). Melainkan sesuatu realitas yang sebenarnya, yang
bersifat rohani. Pengetahuan sebagai hasil mengingat (anamnesis)
akan suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia itu, dicirikan oleh
filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi.
Melalui kesan dan pengamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu,
tanpa merasa perlu melakukan suatu pengamatan, penelitian atau penalaran lebih
lanjut. Dan apabila seorang manusia sudah lebih dalam terlatih dalam hal
intuisi, ia akan sanggup menatap dan seakan-akan memiliki sejumlah idea,
"melihat matahari", misalkan tentang kebaikan, kebenaran, keadilan,
tetapi juga tentang pemerintahan, negara, pendidikan, sampai idea-idea itu
tampil di hadapannya secara berjenjang-jenjang atau hierarkis, yaitu: jenjang
kebenaran, jenjang nilai-nilai, dan lain-lain. Berdasarkan nilai tertinggi
kebenaran hingga nilai terendah maka dapat "ditarik" suatu kesimpulan
deduktif,
seperti yang terdapat dalam matematika. Manurut Plato, matematika adalah bentuk
pengetahuan yang paling sempurna. Tak seorangpun ia ijinkan masuk ke dalam
Akademia-nya kalau belum terlatih dalam matematika, terlatih dalam hal
"menurunkan" kebenaran dan nilai partikular dari kebenaran dan nilai
yang lebih umum.
Filsafat manusia Plato bersifat dualistis.
Jiwa itu paling utama, "dipenjarakan" dalam tubuh. Uraian-uraian
Plato harus dimengerti sebagai usaha berbentuk sastra untuk mengungkapkan suatu
intuisi tentang hakikat manusia. Tetapi juga dalam usaha-usaha lainnya Plato
tidak seluruhnya luput dari dualisme, umpamanya dalam perumpamaan tentang
penunggang kuda dan kudanya, atau tentang manusia bersayap yang kehilangan
sayap-sayapnya. Jasa Plato terletak dalam upayanya menyatupadukan
pertentangan-pertentangan para filsuf pra-Sokrates. Namun ia belum selesai
menyajikan suatu gambaran tentang pengetahuan manusia dan tentang manusia itu
sendiri sebagai suatu gejala yang tunggal dan esa.
Etika Plato, yang didasarkan pada etika Sokrates, amat
menekankan unsur pengetahuan. Bila orang sudah cukup tahu, pasti ia akan hidup
menurut pengetahuannya itu. Oleh karena itu, dalam rangka dialog-dialognya
Sokrates seringkali cukup bagus menyadarkan orang akan adanya suara
batin. Pendapat Plato seterusnya tentang etika bersendi pada ajarannya
tentang idea. Tanda dunia idea adalah tidak berubah-ubah, pasti dan tetap dan
merupakan bentuk yang asal. Itulah yang membedakannya dari dunia yang nyata,
yang berubah senantiasa. Dalam perubahan itu dapat ditimbulkan bentuk-bentuk
tiruan dari bangunan yang asal, dari dunia idea. Sebab itu ada dua jalan yang
dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etika:
Pertama, melarikan diri dalam pikiran
dari dunia yang lahir dan hidup semata-mata dalam dunia idea. Kedua,
mengusahakan berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini. Dengan perkataan
lain: melaksanakan "hadirnya" idea dalam dunia ini. Tindakan yang
pertama adalah ideal, yang kedua kelihatan lebih riil. Kedua jalan itu ditempuh
oleh Plato. Pada masa mudanya, seperti tersebut dalam bukunya Phaedros,
Gorgias,
Thaetet
dan Phaedon,
ia melalui jalan pertama. Pelaksanaan etikanya didasarkan pada memiliki idea
sebesar-besarnya dengan menjauhi dunia yang nayata. Hidup diatur sedemikian
rupa, sehingga timbul cinta dan rindu kepada idea.
Plato mungkin merasakan kemudian, bahwa ideal itu
sukar dilaksanakan. Dalam bagian kedua hidupnya ia berpaling ke jalan yang
kedua. Sungguhpun bangunan-bangunan tiruan dari idea jauh lebih sempurna, sikap
hidup diatur sedemikian rupa, supaya dunia yang lahir "ikut serta"
pada idea. Cara itu dibentangkan di dalam bukunya Republik,
dengan menciptakan suatu negara ideal.
Filsafat Negara Plato menjadi amat terkenal.
Pemikirannya tentang filsafat negara malah menjadi acuan atau motivasi untuk
mengembangkan epistemologi, filsafat manusia maupun etikanya lebih lanjut.
Dapat digambarkan sebagai berikut:
SUSUNAN MANUSIA
|
KEUTAMAAN-KEUTAMAAN
|
SUSUNAN NEGARA
|
akal budi
kehendak yang kuat
tubuh
|
Kebijaksanaan
keberanian keadilan keugaharian |
para pemimpin
para prajurit
para hakim
petani dan tukang
|
Seperti halnya akal budi dan pengetahuan manusia
adalah sumber hikmat dan kebijaksanaan yang menentukan segala keutamaan etis
yang hendak dikembangkan, demikianlah para filsuf hendaknya dijadikan pemimpin
negara dengan para prajurit, dan, pada tahap yang lebih rendah, para petani dan
tukang di bawah mereka. Dan sama seperti keseimbangan, antara segala keutamaan
diatur keadilan, demikianlah para hakim menjamin kekuatan dan kemakmuran negara
di bawah pimpinan para filsuf.
Tentang filsafat ketuhanan, Plato tidak mempunyai kedudukan yang jelas.
Meskipun Plato seringkali membicarakan atau menyinggung Yang
Ilahi (paling bagus dalam dialog yang berjudul Symposium),
dan meskipun ia jelas sekali tidak setuju dengan adanya para dewa dan dewi
mitologi Yunani yang disembah khalayak ramai, namun paham tentang Allah
Pencipta dan Yang Esa tidak ditemukan dalam karya Plato; ada "Demiurg"
yang pandai mengatur segala apa yang kita saksikan, tetapi bukan sebagai
pencipta. Dunia idea-idea tentu saja tempat di mana Yang
Ilahi itu muncul dalam filsafat Plato, maka manusia yang melalui
filsafat berusaha mendekati idea-idea itu, mendekati Yang
Ilahi itu juga. Dari hal ini, filsafat ketuhanan Plato kemudian
berpengaruh menjadi penunjuk dan pintu menuju berbagai bentuk mistik dan
kebatinan.
ARISTOTELES
Aristoteles lahir tahun 384 S.M. di Stagyra
di daerah Thrakia, Yunani Utara. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia
di Athena dan sampai 347 S.M. menjadi murid Plato. Pada 342 S.M. ia diangkat
menjadi pendidik Iskandar Agung muda di kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 335 ia
kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang namanya Lykaion, nama salah satu gelar dewa Apolo. Karena caranya mengajar dan caranya bertukar
pikiran dengan kelompok-kelompok kecil, berlangsung sambil berjalan-jalan, maka
sekolahnya dijuluki juga peripatetik, yang sebenarnya
adalah pusat penelitian ilmiah. Tahun 332, setelah kematian Iskandar Agung, ia
harus melarikan diri dari Athena karena ia, seperti Sokrates 80 tahun
sebelumnya, dituduh menyebarkan ateisme. Ia meninggal tahun
322 S.M.
Meskipun 20 tahun menjadi murid Plato,
Aristoteles menolak ajaran Plato tentang idea. Menurutnya, tidak ada idea-idea
abadi. Apa yang dipahami Plato sebagai idea sesungguhnya adalah bentuk
abstrak yang tertanam dalam realitas inderawi sendiri. Dari
realitas inderawi konkret, akal budi manusia mengabstraksikan paham-paham
abstrak yang bersifat umum. Begitu, misalnya, akal budi mengabstraksikan paham
"orang" atau "manusia" dari orang-orang konkret-nyata yang
kita lihat, yang masing-masing berbeda satu sama lain. Akal budi mampu untuk
melihat bahwa si Azis, si Tuti, Profesor Aleksander, dan Ibu Meli sama-sama
manusia, manusia dalam arti yang sepenuhnya, sepenuhnya manusia. Menurut
Aristoteles, ajaran Plato tentang idea-idea merupakan interpretasi salah
terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal
tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan itu tidak perlu
menerima alam idea-idea abadi. Aristtoteles menjelaskannya dengan kemampuan
akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat
bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Pendekatan
Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata inderawi.
Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan mendukung
pengembangan ilmu-ilmu spesial.
Begitu pula, Aristoteles menolak paham Plato
tentang idea Yang Ilahi, dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi
atau penyatuan dengan idea yang ilahi itu. Menurut Aristoteles, paham Yang Ilahi
itu sedikitpun tidak membantu seorang tukang untuk mengetahui bagaimana ia
harus bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui bagaimana ia
harus memimpin negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat kehidupan
menusia menjadi bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia
sendiri, harus mulai dengan suatu pengamatan.
Salah satu pengantar dan prasyarat filsafat
pengetahuan yang dihargai dan dikembangkan Aristoteles ialah logika. Logika dimengerti sebagai kerangka atau peralatan
teknis yang diperlukan menusia supaya penalarannya berjalan dengan tepat. Dasar
logika Aristoteles adalah uraian keputusan yang kita
temukan dalam bahasa "the analysis of the judgement as found and
expressed in human language". Uraian keputusan itu mencakup
penegasan - pemungkiran - universal - partikular dan beberapa pertanyaan
berikut ini. Bagaimana dan mengapa subjek dan predikat boleh atau tidak boleh,
dan mengapa demikian? Manakah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
serangkaian proposisi secara sah dan tepat memungkinkan suatu kesimpulan baru
ditarik? Seluruh logika tradisional Aristoteles itu mempunyai keistimewaan
ganda. Di satu pihak, berasal dari pengamatan yang teliti tentang susunan
bahasa (Yunani). Di lain pihak sekaligus mengangkat unsur-unsur keniscayaan (necessity)
dalam uraian bahasa itu. Dalam bahasa modern dapat dikatakan bahwa dalam
logikanya, Aristoteles menggabungkan unsur empiris-induktif dan rasional-deduktif.
Selain itu dalam Topyka, karyanya dalam bidang logika, ia merintis
penyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu empiris dalam mencari hukum-hukum
universal berdasarkan pengamatan.
Selain uraian mengenai teknik pengembangan
pengetahuan dalam logika, Aristoteles berjasa juga dalam usahanya untuk
menggambarkan tahapan-tahapan kemajuan pengetahuan manusia.
Sokrates mulai dari pengetahuan inderawi yang
selalu partikular. Kemudian melalui abstraksi menuju pengetahuan akal budi yang
bercirikan universal. Dalam hal filsafat pengetahuan, Aristoteles merupakan kebalikan dari filsafat pengetahuan
Plato. Dasar filsafat pengetahuan Aristoteles bukanlah intuisi melainkan
abstraksi.
Titik pangkalnya filsafat manusia Aristoteles adalah manusia
sebagai subjek pengetahuan. Aristoteles menentang dualisme Plato
tentang manusia. Sebenarnya bukan hanya pandangan Plato mengenai manusia yang
ditentangnya, ia mengembangkan juga apa yang dinamakan "hylemorfisme".
Artinya, ia beranggapan bahwa apa saja yang kita jumpai di bumi kita ini secara
terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle")
sana-sini dari bentuk-bentuk ("morphe") yang sama.
Umpamanya, pohon cemara, sapi, manusia. Dengan demikian
pertentangan-pertentangan "klasik" dari masa pra-Sokrates dipecahkan
Aristoteles dengan membedakan maupun menegaskan kesatuan unsur materi dan
bentuk dalam setiap makhluk (sekaligus "materialized form" dan
"formed
matter"). Dengan demikian ia berusaha menerangkan banyaknya
individu yang berbeda-beda, dalam satu "jenis" ("spesies").
"Bentuk" ("morphe", "form")
dianggapnya sebagai yang memberi "aktualitas" pada individu yang
bersangkutan. Sedangkan "materi" ("Hyle",
"matter")
seakan-akan menyediakan "kemungkinan" (Yunani: "dynamis",
Latin: "potentia") untuk pengejawantahan bentuk dalam
setiap individu dengan cara yang berbeda-beda. Bentuk dalam hal makhluk hidup
diberi nama "jiwa" (Yunani: "psyche", Latin: "anima",
yang berlaku sama saja untuk tetumbuhan, hewan dan manusia. Hanya jiwa manusia
yang mempunyai kedudukan istimewa, karena manusia berkat jiwanya yang khas itu
tidak hanya sanggup "mengamati" dunia di sekitar secara inderawi,
tetapi sanggup juga "mengerti" dunia maupun dirinya. Di samping itu
adalah karena jiwa manusia dilengkapi "nous" (Latin: "ratio"
atau "intellectus") yang menerima, dan malahan
mengucapkan "logos" (sabda, pengertian) yang pada gilirannya menjelma
dalam sabda-sabda "jasmani" yang diberi nama bahasa.
"Nous" atau akal budi merupakan bagian
paling mulia dalam diri manusia. Tak mengherankan kalau sesuai dengan keyakinan
itu, unsur-unsur filsafat ketuhanan yang kita temukan dalam karya
Arsitoteles, bertitik pangkal pada uraian kemampuan akal budi itu. Namun,
berbeda dari kontemplasi terhadap idea-idea gaya Plato, Aristoteles dalam hal
ini juga mencari dasar uraiannya dalam pengamatan inderawi di dunia yang
berubah-ubah ini. Umpamanya pengamatan mengenai gejala adanya gerak-gerak
fisik saja. Secara spontan kita mencari penggeraknya, yang pada
giliranya tidak bebas dari gerak (dan perubahan) juga. Mungkin kita bisa maju
sampai sederetan besar gerak dan penggerak. Hampir-hampir tanpa ada habisnya
(deretan tak berhingga). Lambat laun muncullah keyakinan dalam diri manusia
pengamat bahwa deretan macam itu belum memuaskan keinginannya untuk mengetahui
dan terutama untuk mengerti. Sadarlah manusia bahwa ia "harus
berhenti" dalam penyelidikan terhadap mata rantai berikutnya dan
berikutnya lagi dan lagi. Ia merasa perlu memandang rantai, rangkaian atau
deretan itu sebagai deretan. Dari manakah adanya deretan yang tak berhingga
itu? Menurut Aristoteles, "nous" pada lapisan atau tahapnya yang tertinggi
memahami bahwa kemampuannya untuk menatap deretan itu sebagai deretan, yang
mengandung kemampuannya untuk menegaskan adanya "yang menggerak tanpa
digerakkan sendiri" ("motor immobilis").
Keyakinan itu dihasilkan "nous" bukan sebagai "nous
pathetikos" ("intellectus passivus"
atau "possibilis") yang terutama dipengaruhi oleh
kesan-kesan inderawi, melainkan sebagai "nous poietikos" ("intellectus
agens") yang ikut menentukan isi pemahamannya secara aktif,
karena suatu "daya pencipta" yang ternyatalah termuat di dalamnya.
Jalan pikiran Aristoteles itu diterapkan Thomas Aquinas dalam "panca marga"-nya ("quinque
viae") guna menyatakan adanya Tuhan berdasarkan pengalaman dan
penalaran filosofis.
Cukup banyak uraian terdalam Aristoteles
ditemukan dalam karyanya yang diberi judul Metafisika. Asas-asas terdalam
yang digarap filsafat mengenai berbagai gejala, digarapnya dalam karya itu.
Malahan judul (bukan dari Aristoteles sendiri) dari buku itu - yang berarti
"sesudah fisika" - telah menjadi nama dari cabang filsafat yang
sampai sekarang disebut metafisika. Buku Fisika
karya Aristoteles memuat cara pendekatannya pada gejala-gejala alam guna
dipelajari dari sudut filsafat.
Dipelajari dari sudut filsafat. Misalnya, mengenai gejala
perubahan di mana Aristoteles memakai lagi kedua istilah
"kemungkinan" (Yunani: "dynamis", Latin: "potentia")
dan aktualitas (Latin: "actus"), yang sudah
disinggung di atas ini, sehubungan dengan susunan individu sebagai anggota dari
suatu "jenis" atau "spesies". Maka dari itu, dalam wilayah
tinjauan terhadap pertentangan antara "tetap" (Parmenides) dan "berubah-ubah" (Herakleitos), Arsitoteles berusaha mengatasi
masalahnya dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala itu. Baik di
dalam karya Parmenides maupun Herakleitos sama-sama termuat uraian termasyur
mengenai apa itu waktu. Kontinuitas maupun "keterpecahan" atau
"ketersebaran" yang menjadi ciri waktu dianalisis oleh Aristoteles.
Masih ada satu bidang lain dari filsafat
Aristoteles yang amat mempengaruhi filsafat seterusnya, yakni etika, dan sebagai lanjutannya filsafat negara. Etika Aristoteles bertitik
pangkal pada kenyataan bahwa manusia hendak mengejar kebahagiaan ("eudaimonia").
Sarana-sarana dan upaya-upaya yang dipilih manusia, dinilai berdasarkan tujuan
tersebut. Kebahagiaan itu menyangkut manusia jiwa-raga sebagai anggota
masyarakat, karena manusia ialah makhluk yang "hidup ber-polis" (polis:
kota sebagai kesatuan negara pada masa Yunani kuno, sudah lama sebelum
Aristoteles). Manusia ialah "zoon politikon". Ciri
manusia sebagai makhluk hidup adalah hidup dalam polis, maka Aristoteles sangat
menekankan sosialitas manusia. Masyarakat dalam bentuk negara itu dilihat
Aristoteles sebagai suatu lembaga kodrati ("natural institution"),
yaitu bukan berdasarkan persetujuan ("convention") saja seperti
diajar oleh para sofis dan skeptikus pada masa itu. Dengan demikian semua
warganegara wajib takluk pada negara, kepada para pemimpin dan kepada
undang-undang. Dalam filsafatnya, Aristoteles mempunyai kecenderungan ke arah
suatu totalitarisme
negara. Negara itu di atas keluarga dan negara pun menyelenggarakan pendidikan.
Pemimpin negara dapat dibentuk menurut beberapa pola berdasarkan pengamatan dan
data-data yang diperoleh Aristoteles, antara lain melalui para muridnya. Monarki
ialah cara pemerintahan di bawah satu ("monos") orang saja, yang
dapat merosot menjadi tirani. Aristokrasi
merupakan cara pemerintahan di bawah sekelompok orang yang dinilai sebaik yang
terbaik ("aristoi"), dan dapat merosot menjadi oligarki
(dikuasai oleh "segerombolan" orang yang bersekongkol). Demokrasi
yang diberi juga nama "politeia" berada di bawah kuasa rakyat ("demos"),
yang dapat merosot menjadi anarki (tanpa "arkhe"
atau asas). Aristoteles tidak memilih salah satu dari ketiga bentuk dasar itu.
Ia juga tidak suka memakai perbandingan dengan susunan manusia seperti Plato.
Meskipun tidak akan diuraikan panjang lebar,
pengaruh filsafat keindahan dan estetika Aristoteles perlu disinggung di
sini. Anggapan Aristoteles mengenai "katharsis" (pemurnian)
yang terjadi dalam diri para penonton drama, merupakan suatu tinjauan atas apa
yang ternyata berlangsung, lalu diusahakan agar diberi terang teoretis atas
peristiwa yang telah diamati itu.
Akhirnya, dalam segala cabang filsafat yang sudah
secara singkat kita tinjau, Aristoteles bertitik tolak pada apa yang diamati
dalam hidup manusia dan hidup masyarakat. Katakanlah dari perbuatan-perbuatan
dan tingkah laku mereka. Artinya dari "praxis" yang nyata,
berdasarkan data-data yang banyak itu, ia berusaha maju sampai pada suatu
"theoria"
yang meliputi segala data pengamatan itu. Kemudian teori tersebut mudah-mudahan
dapat menyediakan suatu "terang teoretis" atas data-data itu
sedemikian rupa sehingga karena teori itu praksis tadi lebih masuk
akal dan malahan mungkin untuk seterusnya dapat direncanakan dengan
lebih teratur dan lebih sempurna. Demikianlah "perjalanan
mondar-mandir" mengenai logika Aristoteles. Berkat Aristoteles kedua kata
Yunani, praksis atau praktek dan teori telah menjadi milik
ratusan bahasa di permukaan bumi. Dan, latar belakang pikirannya pun meresap.
Akhirnya patut dicatat bahwa Aristoteles berbeda
dari Plato. Ia menjadi perintis pemeriksaan dalam ilmu-ilmu alam, termasuk ilmu
hayat. Banyak hasil penelitian dan pengamatannya tampak ditegaskan kembali oleh
pemeriksaan-pemeriksaan pada abad ke-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar