Sabtu, 24 Maret 2012

Filsafat


BEBERAPA FILSUF, HIDUP DAN KARYANYA


Filsuf (atau, filosof) atau disebut juga ahli pikir ialah mereka yang gemar menilik sesuatu realitas dengan kemerdekaan berpikir yang ada padanya sampai sesuatu itu '"terbongkar" sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Apa yang dilakukan oleh para filsuf tetap kembali pada suatu usaha menemukan kebenaran, meskipun jalan, metode yang dipakai berbeda-beda antara satu filsuf dengan filsuf yang lain. Oleh karenanya, tak heran bila muncul istilah-istilah seperti "filsafat Plato", "filsafat Thomas", "filsafat Kant", "filsafat Habermas", dan seterusnya, di sampingnya "filsafat Yunani", "filsafat India", "filsafat eksistensialisme", dsb. Itu karena memang produk pemikiran masing-masing filsuf tersebut adalah khas, tiada duanya, baik dari segi: pola pemikirannya, titik tolak di mana bermula, bahasa yang digunakannya, cara penyampaiannya dan posisi (berpikir)nya, meskipun para filsuf sendiri hidup dalam konteks sejarah dengan segala suasana batin dan pemikiran yang melingkupinya.
Apa yang diberikan oleh para filsuf kepada masyarakat dunia, kalau boleh disebut demikian, selalu menarik untuk ditinjau. Bagaimana suatu persoalan dirumuskan, ditelaah, bagaimana jawaban-jawaban dan pertanyaan-pertanyaan selalu diformulasi kembali sepanjang jaman, hanya dalam rangka mencari kebenaran untuk kemaslahatan kehidupan manusia, menurut visi masing-masing. Masalah apakah kemudian suatu pemikiran disepakati sebagai keliru bahkan salah, karena telah dicapai pemikiran lain yang lebih baik, adalah masalah lain. Sejarah adalah sejarah yang tidak mungkin dihapus. Adanya sesuatu hari ini mau tak mau, suka tak suka adalah sebagai akibat dari kontak dengan masa lalu. Di sinilah dialektika terjadi, saling berdebat, saling menanggapi.
Pemikiran para filsuf, apalagi filsuf besar, adalah merupakan harta dunia yang tiada terbilang nilainya. Jelas ia memberi sumbangan bagi kemajuan berpikir berikutnya. Sumbangannya bagi sejarah peradaban dunia patut untuk disampaikan senantiasa oleh kita yang hidup di jaman yang katanya modern ini; minimal sebagai ungkapan terima kasih kita kepada mereka, yang pemikirannya langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan kita hari ini. Untuk itulah adanya "Filsuf, Hidup dan Karyanya" ini. Kita mau mengenal filsuf dari kehidupan dan karya-karyanya. Insya Allah, bagian ini secara periodik akan membahas filsuf dengan pemikiran-pemikiran dan kehidupannya, sejak filsafat Yunani Klasik hingga filsafat yang berkembang akhir-akhir ini.

 


SOKRATES


Sokrates lahir di Athena tahun 470 S.M. dan meninggal tahun 399 S.M. Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sofisme di Athena. Pada hari tuanya Sokrates melihat kota tumpah darahnya mulai mundur, setelah mencapai puncak kebesaran yang gilang-gemilang. Sokrates bergaul dengan semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filsuf dengan keunikannya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Menurut teman-temannya: Sokrates demikian adilnya, sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya, sehingga ia tak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk.
Sokrates mempunyai tujuan, mengajar orang mencari kebenaran. Sikapnya itu adalah suatu reaksi terhadap ajaran sofisme yang merajalela waktu itu. Guru-guru sofis mengajarkan bahwa "kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai." Sebab itu tiap-tiap pendirian dapat "dibenarkan" dengan jalan retorika. Dengan daya kata dicoba memperoleh persetujuan orang banyak. Apabila orang banyak sudah setuju, itu dianggap sudah benar. Dengan cara demikian, pengetahuan menjadi dangkal.
Terhadap aliran yang mendangkalkan pengetahuan dan melemahkan rasa tanggungjawab itulah, Sokrates memberontak. Dengan filosofinya yang diamalkan dengan cara hidupnya, ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawabnya. Ia selalu berkata, yang ia ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Karena itu ia bertanya. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Sesungguhnya inilah permulaan dialektik. Dialektik asal katanya dialog, artinya bersoal jawab antara dua orang.
Guru-guru sofis yang mengobral "ilmu" di tengah-tengah pasar ditantangnya dengan cara ia berguru. Ia sebagai yang tidak tahu itu lalu ingin tahu dan bertanya. Tiap jawaban atas pertanyaannya disusul dengan pertanyaan baru. Demikianlah seterusnya. Pertanyaan itu makin lanjut makin mendesak. Akhirnya guru sofis tidak sanggup lagi menjawab dan mengaku tidak tahu. Lalu Sokrates mengunci tanya-jawab tadi dengan berkata: "Demikianlah adanya, kita kedua-duanya sama-sama tidak tahu."
Dengan caranya yang berani dan jujur itu Sokrates banyak memperoleh kawan. Pemuda Athena sangat cinta kepadanya. Tetapi sebaliknya, lawannya juga banyak, terutama guru-guru sofis serta pengikut-pengikutnya yang berpolitik, yang memperoleh kemenangan dengan jalan retorika. Akhirnya Sokrates diajukan ke muka pengadilan rakyat dengan dua macam tuduhan. Pertama, bahwa ia meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara, dan mengemukakan dewa-dewa baru. Kedua, bahwa ia menyesatkan dan merusak fiil (tingkah laku, perangai) pemuda.
Namun, pun dalam pembelaannya Sokrates tetap tegas. Melihat susunan mahkamah rakyat itu, sudah terang ia akan disalahkan dan dihukum. Tetapi pantang baginya akan menjilat, beriba-iba mengambil hati para hakim supaya hukumannya diperingan. Dengan tangkas ia mengatakan, bahwa ia tidak bersalah melainkan berjasa pada pemuda dan masyarakat Athena. Bukan hukuman, melainkan upah yang harus diterimanya.
Alangkah terkejutnya kawan-kawannya mendengarkan ucapannya itu. Para hakim tercengang, perasaan mereka tersinggung. Dengan suara terbanyak ia dihukum mati dengan meminum racun. Sokrates sedikitpun tidak gentar. Ia berkata dengan suara tenang, bahwa ia siap dan bersedia menjalani hukumannya.
Dengan hati yang tetap pula ia menolak semua bujukan kawan-kawannya untuk lari dari penjara dan menyingkir ke kota lain. Sokrates, yang selalu patuh kepada undang-undang, tidak mau durhaka pada saat ia akan meninggal. Cara matinya juga memberikan contoh, betapa seorang filsuf setia kepada ajarannya.
Sokrates, seperti tersebut di atas, tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Filosofinya mencari kebenaran. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir.
Karena Sokrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali mengetahui ajaran otentiknya. Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang bisa diyakini, karena ia sendiri bukan filsuf. Untuk mengetahui ajaran Sokrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Tetapi kesukarannya ialah bahwa Plato dalam tulisannya banyak menuangkan pendapatnya sendiri ke dalam mulut Sokrates. Dalam uraian-uraiannya, yang kebanyakan berbentuk dialog, hampir selalu Sokrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar seolah-olah Sokrates yang berkata.
Meskipun murid-murid Sokrates memberi isi sendiri-sendiri kepada ajaran gurunya, ada satu hal yang mereka sepakat, yaitu tentang metode Sokrates. Tujuan filosofi Sokrates adalah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sinilah letak perbedaannya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan bahwa semuanya relatif dan subjektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Seokrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap adanya dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikirkan dirinya sendiri, melainkan setiap kali ia berdua dengan orang lain, dengan tanya-jawab. Orang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawan, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama mencari kebenaran. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Sokrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap dari segala sesuatu. Karena itu ia selalu bertanya: Apa itu? Apa yang dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil? Pertanyaan tentang "apa itu" harus lebih dahulu daripada "apa sebab". Ini biasa bagi manusia dalam hidup sehari-hari. Anak kecil pun mulai bertanya dengan "apa itu". Oleh karena jawab tentang "apa itu", dicarilah dengan tanya-jawab yang makin meningkat dan mendalam, maka Sokrates diakui pula - sejak keterangan Arsitoteles - sebagai pembangun dialektik pengetahuan. Tanya-jawab, yang dilakukan secara meningkat dan mendalam, melahirkan pikiran yang kritis.
Oleh karena Sokrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya adalah metode induksi dan definsi. Induksi menjadi dasar definisi.
Induksi di sini berlainan artinya dengan induksi sekarang. Menurut induksi paham sekarang, penyelidikan dimulai dengan memperhatikan yang spesifik dan dari sana - dengan mengumpulkan - dibentuk pengertian yang berlaku umum. Induksi yang menjadi metode Sokrates adalah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai yang umum dari yang spesifik. Ia mencoba mencapai definisi dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi. Seperti disebut di atas, dari kawan bersoal-jawabnya, yang masing-masing terkenal sebagai ahli dalam vak-nya sendiri-sendiri, dikehendakinya definisi tentang "berani", "indah", dan sebagainya. Pengertian yang diperoleh itu diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata. Apabila dalam pasangan itu pengertian itu tidak mencukupi, maka dari ujian itu dicari perbaikan definisi. Definisi yang tercapai dengan cara itu diuji kembali untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Demikian seterusnya.
Contoh Sokrates bekerja ini dapat diketahui dari dialog-dialog Plato yang mula-mula, di mana caranya berfilosofi masih dekat sekali dengan Sokrates.
Dengan jalan itu, induksi kepada definisi, hasil yang dicapai tidak lagi takluk kepada paham subjektif seperti yang diajarkan kaum sofis, melainkan umum sifatnya dan berlaku untuk selama-lamanya. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
Dengan caranya itu, Sokrates membangun dalam jiwa orang bahwa kebenaran tidak diperoleh begitu saja, melainkan dicari dengan perjuangan seperti memperoleh barang yang tertinggi nilainya. Dengan cara mencari kebenaran seperti itu terlaksana pula tujuan yang lain, yaitu membentuk karakter. Sebab itu, kata Sokrates, budi ialah tahu. Manusia yang dirusak oleh ajaran sofisme mau dibentuknya kembali.
Budi ialah tahu. Inilah intisari dari etika Sokrates. Maksudnya, budi baik timbul dengan pengetahuan. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Maka, siapa yang mengetahui hukum tentulah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari. Nyatalah bahwa etika Sokrates intelektual sifatnya, disamping juga rasional. Apabila budi ialah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas kemauannya sendiri, bebuat jahat. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan pertimbangan yang benar, maka "jahat" hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak memiliki pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang tersesat adalah korban dari kekhilafannya sendiri. Tersesat bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas kemauannya sendiri.
Oleh karena budi ialah tahu, maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa berbuat baik. Untuk itu orang pandai perlu menguasai diri dalam segala keadaan. Dalam suka mupun duka. Dan apa yang pada hakikatnya baik, adalah juga baik bagi diri kita sendiri. Jadi, menuju kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Apa itu "kebahagiaan hidup", tidak pernah dipersoalkan oleh Sokrates, sehingga murid-muridnya memberi pendapat mereka sendiri-sendiri yang bertentangan.
Menurut Sokrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala sesuatu yang ada itu ada tujuannya, begitu juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Dari pandangan etika yang rasional itu, Sokrates sampai kepada sikap hidup yang penuh dengan rasa keagaamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik daripada berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya, dengan kata dan perbuatan, dalam pembelaannya di muka hakim. Sokrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut ujud yang tertentu. Itu, katanya, adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan dipercayakannya segala-galanya yang tak terduga oleh otak manusia. Jiwa manusia itu dipandangnya sebagai bagian dari Tuhan yang menyusun alam. Sering pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasakannya sebagai suara dari dalam, yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang disebutnya "daimonion". Bukan ia saja yang dapat demikian, katanya. Semua orang dapat mendengarkan suara daimonion (suara batin) itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau.

Juga dalam segi pandangan Sokrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semua itu menunjukkan kebulatan, keutuhan, konsistensi ajarannya, yang menjadikan ia seorang filsuf yang terutama seluruh masa.

 


P L A T O


Plato dilahirkan di Athena, di tengah kekacauan perang Peloponesos tahun 427 S.M., dan meninggal di sana tahun 347 S.M. Ia berasal dari keluarga aristokrat yang turun-temurun memegang peranan penting dalam politik Athena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang negara. Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu. Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Sokrates. Pelajaran itu yang memberi kepuasan baginya. Pengaruh Sokrates semakin lama semakin mendalam padanya. Ia menjadi murid Sokrates yang setia. Sampai akhir hayatnya, Sokrates tetap menjadi pujaannya. Sokrates bagi Plato adalah seorang yang sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya, orang yang tak pernah berbuat salah. Hukuman yang ditimpakan kepada Sokrates dipandangnya suatu perbuatan zalim semata-mata. Ia sangat sedih dan menamakan dirinya sebagai seorang anak yang kehilangan bapak. Ia sedih, tetapi terpaku karena pendirian Sokrates yang menolak kesempatan untuk melarikan diri dari penjara, dengan memperingatkan ajarannya, "Lebih baik menderita kezaliman daripada berbuat zalim."
Plato mempunyai kedudukan istimewa sebagai seorang filsuf. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan filosofi. Pandangan yang dalam dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya dengan gaya bahasa yang indah. Tidak ada seorang filsuf sebelumnya yang dapat dibandingkan dengannya dalam hal ini. Juga sesudahnya tak ada.
Sesudah Sokrates dihukum mati, Plato bersama teman-teman yang sealiran pindah ke Megara untuk meneruskan cita-cita guru mereka. Pada umur 40 tahun Plato pindah ke istana Dionysios I di kota Sirakus, Sisilia. Melalui raja itu ia ingin merealisasikan cita-citanya tentang penguasa yang adil. Namun, ia gagal total dan hampir saja dijual sebagai budak di pasar kota Aegina andaikata tidak kebetulan dilihat dan ditebus oleh seorang temannya. Plato akhirnya kembali ke Athena. Waktu temannya itu menolak untuk menerima kembali uang tebusan, Plato memakai uang itu untuk mendirikan Akademia, sekolah tersohor tempat ia mengajar. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama didirikan dengan uang harga penjualan seorang filsuf. Plato kembali ke Sisilia dua kali dan mencoba untuk mempengaruhi para penguasa di sana, tetapi selalu gagal. Tahun-tahun terakhir hidupnya dipergunakannya untuk mengajar di Akademia.
Selama kehidupan yang cukup ramai itu, Plato rajin menulis. Hampir semua tulisan Plato berupa dialog; dalam dialog itu pada umumnya Plato memakai Sokrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya. Semua karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya, masih ada. Yang paling terkenal adalah 10 buku (atau bab) Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa selanjutnya. Pernyataan Alfred N. Whitehead bahwa seluruh filsafat pasca-Plato hanyalah sekadar catatan kaki terhadap karya Plato tidak jauh dari kebenaran.
Filsafat Plato yang sampai kepada kita melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan Menjadi, antara Satu dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Manakah dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal filsafat yang memang sedang mencari satu asas utama? Manakah dari kedua alternatif itu dapat dianggap sebagai kenyataan (dan pengetahuan) yang sejati (Yunani: "ontos on", "benar-benar ada"), manakah yang semu (Yunani: "doza", "perkiraan" atau "maya")? Dalam dialog-dialognya, Plato menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan (Inggris: Innate) sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keragu-raguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami setiap manusia
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan berasal dari dunia pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea. Kata Yunani itu mempunyai akar "Wid" dengan arti "melihat" dengan mata kepala (Latin: "Videra", Inggris: "Vision") maupun menatap dengan mata batin sampai "mengetahui" (Jerman: "Wissen"; Inggris: "Wisdom"). Menurut Plato, pada awalnya, jati diri atau jiwa manusia hidup di "dunia idea-idea" atau surga, dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal jiwa berada di dunia fana - maka secara bawaan - ia menatap dengan batinnya idea-idea sempurna dan abadi; umpamanya idea tentang kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, tetapi juga idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa, jiwa manusia itu "jatuh" dari dunia idea-idea itu ke dalam dunia ini sampai ke dalam "penjara" yaitu tubuh manusia. Melalui indera tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau "bayangan" dari idea-idea yang "semula" pernah ditatapnya secara murni. Lalu manusia ingat akan idea-idea murni itu yang "dahulu kala" ditatapnya dan yang secara bawaan memang menemaninya secara terselubung.
Untuk lebih memahami pikiran Plato tentang idea, kita dapat memakai perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia, yaitu "perumpamaan tentang gua". Bayangkan sebuah gua; di dalamnya ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka) ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua.
Plato memakai perumpamaan itu dalam rangka usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bukan lagi realitas inderawi, yang hanya cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi (patung-patung yang meniru apa yang nyata-nyata ada). Melainkan sesuatu realitas yang sebenarnya, yang bersifat rohani. Pengetahuan sebagai hasil mengingat (anamnesis) akan suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia itu, dicirikan oleh filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi. Melalui kesan dan pengamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu, tanpa merasa perlu melakukan suatu pengamatan, penelitian atau penalaran lebih lanjut. Dan apabila seorang manusia sudah lebih dalam terlatih dalam hal intuisi, ia akan sanggup menatap dan seakan-akan memiliki sejumlah idea, "melihat matahari", misalkan tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, tetapi juga tentang pemerintahan, negara, pendidikan, sampai idea-idea itu tampil di hadapannya secara berjenjang-jenjang atau hierarkis, yaitu: jenjang kebenaran, jenjang nilai-nilai, dan lain-lain. Berdasarkan nilai tertinggi kebenaran hingga nilai terendah maka dapat "ditarik" suatu kesimpulan deduktif, seperti yang terdapat dalam matematika. Manurut Plato, matematika adalah bentuk pengetahuan yang paling sempurna. Tak seorangpun ia ijinkan masuk ke dalam Akademia-nya kalau belum terlatih dalam matematika, terlatih dalam hal "menurunkan" kebenaran dan nilai partikular dari kebenaran dan nilai yang lebih umum.
Filsafat manusia Plato bersifat dualistis. Jiwa itu paling utama, "dipenjarakan" dalam tubuh. Uraian-uraian Plato harus dimengerti sebagai usaha berbentuk sastra untuk mengungkapkan suatu intuisi tentang hakikat manusia. Tetapi juga dalam usaha-usaha lainnya Plato tidak seluruhnya luput dari dualisme, umpamanya dalam perumpamaan tentang penunggang kuda dan kudanya, atau tentang manusia bersayap yang kehilangan sayap-sayapnya. Jasa Plato terletak dalam upayanya menyatupadukan pertentangan-pertentangan para filsuf pra-Sokrates. Namun ia belum selesai menyajikan suatu gambaran tentang pengetahuan manusia dan tentang manusia itu sendiri sebagai suatu gejala yang tunggal dan esa. 
Etika Plato, yang didasarkan pada etika Sokrates, amat menekankan unsur pengetahuan. Bila orang sudah cukup tahu, pasti ia akan hidup menurut pengetahuannya itu. Oleh karena itu, dalam rangka dialog-dialognya Sokrates seringkali cukup bagus menyadarkan orang akan adanya suara batin. Pendapat Plato seterusnya tentang etika bersendi pada ajarannya tentang idea. Tanda dunia idea adalah tidak berubah-ubah, pasti dan tetap dan merupakan bentuk yang asal. Itulah yang membedakannya dari dunia yang nyata, yang berubah senantiasa. Dalam perubahan itu dapat ditimbulkan bentuk-bentuk tiruan dari bangunan yang asal, dari dunia idea. Sebab itu ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etika:
Pertama, melarikan diri dalam pikiran dari dunia yang lahir dan hidup semata-mata dalam dunia idea. Kedua, mengusahakan berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini. Dengan perkataan lain: melaksanakan "hadirnya" idea dalam dunia ini. Tindakan yang pertama adalah ideal, yang kedua kelihatan lebih riil. Kedua jalan itu ditempuh oleh Plato. Pada masa mudanya, seperti tersebut dalam bukunya Phaedros, Gorgias, Thaetet dan Phaedon, ia melalui jalan pertama. Pelaksanaan etikanya didasarkan pada memiliki idea sebesar-besarnya dengan menjauhi dunia yang nayata. Hidup diatur sedemikian rupa, sehingga timbul cinta dan rindu kepada idea.
Plato mungkin merasakan kemudian, bahwa ideal itu sukar dilaksanakan. Dalam bagian kedua hidupnya ia berpaling ke jalan yang kedua. Sungguhpun bangunan-bangunan tiruan dari idea jauh lebih sempurna, sikap hidup diatur sedemikian rupa, supaya dunia yang lahir "ikut serta" pada idea. Cara itu dibentangkan di dalam bukunya Republik, dengan menciptakan suatu negara ideal.
Filsafat Negara Plato menjadi amat terkenal. Pemikirannya tentang filsafat negara malah menjadi acuan atau motivasi untuk mengembangkan epistemologi, filsafat manusia maupun etikanya lebih lanjut. Dapat digambarkan sebagai berikut:
SUSUNAN MANUSIA
KEUTAMAAN-KEUTAMAAN
SUSUNAN NEGARA
akal budi
kehendak yang kuat
tubuh
Kebijaksanaan
keberanian
keadilan
keugaharian
para pemimpin
para prajurit
para hakim
petani dan tukang
Seperti halnya akal budi dan pengetahuan manusia adalah sumber hikmat dan kebijaksanaan yang menentukan segala keutamaan etis yang hendak dikembangkan, demikianlah para filsuf hendaknya dijadikan pemimpin negara dengan para prajurit, dan, pada tahap yang lebih rendah, para petani dan tukang di bawah mereka. Dan sama seperti keseimbangan, antara segala keutamaan diatur keadilan, demikianlah para hakim menjamin kekuatan dan kemakmuran negara di bawah pimpinan para filsuf.
Tentang filsafat ketuhanan, Plato tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Meskipun Plato seringkali membicarakan atau menyinggung Yang Ilahi (paling bagus dalam dialog yang berjudul Symposium), dan meskipun ia jelas sekali tidak setuju dengan adanya para dewa dan dewi mitologi Yunani yang disembah khalayak ramai, namun paham tentang Allah Pencipta dan Yang Esa tidak ditemukan dalam karya Plato; ada "Demiurg" yang pandai mengatur segala apa yang kita saksikan, tetapi bukan sebagai pencipta. Dunia idea-idea tentu saja tempat di mana Yang Ilahi itu muncul dalam filsafat Plato, maka manusia yang melalui filsafat berusaha mendekati idea-idea itu, mendekati Yang Ilahi itu juga. Dari hal ini, filsafat ketuhanan Plato kemudian berpengaruh menjadi penunjuk dan pintu menuju berbagai bentuk mistik dan kebatinan.


ARISTOTELES

 

Ilustrasi AristotelesAristoteles lahir tahun 384 S.M. di Stagyra di daerah Thrakia, Yunani Utara. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia di Athena dan sampai 347 S.M. menjadi murid Plato. Pada 342 S.M. ia diangkat menjadi pendidik Iskandar Agung muda di kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 335 ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang namanya Lykaion, nama salah satu gelar dewa Apolo. Karena caranya mengajar dan caranya bertukar pikiran dengan kelompok-kelompok kecil, berlangsung sambil berjalan-jalan, maka sekolahnya dijuluki juga peripatetik, yang sebenarnya adalah pusat penelitian ilmiah. Tahun 332, setelah kematian Iskandar Agung, ia harus melarikan diri dari Athena karena ia, seperti Sokrates 80 tahun sebelumnya, dituduh menyebarkan ateisme. Ia meninggal tahun 322 S.M.
Meskipun 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang idea. Menurutnya, tidak ada idea-idea abadi. Apa yang dipahami Plato sebagai idea sesungguhnya adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas inderawi sendiri. Dari realitas inderawi konkret, akal budi manusia mengabstraksikan paham-paham abstrak yang bersifat umum. Begitu, misalnya, akal budi mengabstraksikan paham "orang" atau "manusia" dari orang-orang konkret-nyata yang kita lihat, yang masing-masing berbeda satu sama lain. Akal budi mampu untuk melihat bahwa si Azis, si Tuti, Profesor Aleksander, dan Ibu Meli sama-sama manusia, manusia dalam arti yang sepenuhnya, sepenuhnya manusia. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea-idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan itu tidak perlu menerima alam idea-idea abadi. Aristtoteles menjelaskannya dengan kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Pendekatan Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata inderawi. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan mendukung pengembangan ilmu-ilmu spesial.
Begitu pula, Aristoteles menolak paham Plato tentang idea Yang Ilahi, dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang ilahi itu. Menurut Aristoteles, paham Yang Ilahi itu sedikitpun tidak membantu seorang tukang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui bagaimana ia harus memimpin negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat kehidupan menusia menjadi bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia sendiri, harus mulai dengan suatu pengamatan.
Salah satu pengantar dan prasyarat filsafat pengetahuan yang dihargai dan dikembangkan Aristoteles ialah logika. Logika dimengerti sebagai kerangka atau peralatan teknis yang diperlukan menusia supaya penalarannya berjalan dengan tepat. Dasar logika Aristoteles adalah uraian keputusan yang kita temukan dalam bahasa "the analysis of the judgement as found and expressed in human language". Uraian keputusan itu mencakup penegasan - pemungkiran - universal - partikular dan beberapa pertanyaan berikut ini. Bagaimana dan mengapa subjek dan predikat boleh atau tidak boleh, dan mengapa demikian? Manakah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar serangkaian proposisi secara sah dan tepat memungkinkan suatu kesimpulan baru ditarik? Seluruh logika tradisional Aristoteles itu mempunyai keistimewaan ganda. Di satu pihak, berasal dari pengamatan yang teliti tentang susunan bahasa (Yunani). Di lain pihak sekaligus mengangkat unsur-unsur keniscayaan (necessity) dalam uraian bahasa itu. Dalam bahasa modern dapat dikatakan bahwa dalam logikanya, Aristoteles menggabungkan unsur empiris-induktif dan rasional-deduktif. Selain itu dalam Topyka, karyanya dalam bidang logika, ia merintis penyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu empiris dalam mencari hukum-hukum universal berdasarkan pengamatan.
Selain uraian mengenai teknik pengembangan pengetahuan dalam logika, Aristoteles berjasa juga dalam usahanya untuk menggambarkan tahapan-tahapan kemajuan pengetahuan manusia. 
Sokrates mulai dari pengetahuan inderawi yang selalu partikular. Kemudian melalui abstraksi menuju pengetahuan akal budi yang bercirikan universal. Dalam hal filsafat pengetahuan, Aristoteles merupakan kebalikan dari filsafat pengetahuan Plato. Dasar filsafat pengetahuan Aristoteles bukanlah intuisi melainkan abstraksi.
Titik pangkalnya filsafat manusia Aristoteles adalah manusia sebagai subjek pengetahuan. Aristoteles menentang dualisme Plato tentang manusia. Sebenarnya bukan hanya pandangan Plato mengenai manusia yang ditentangnya, ia mengembangkan juga apa yang dinamakan "hylemorfisme". Artinya, ia beranggapan bahwa apa saja yang kita jumpai di bumi kita ini secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk-bentuk ("morphe") yang sama. Umpamanya, pohon cemara, sapi, manusia. Dengan demikian pertentangan-pertentangan "klasik" dari masa pra-Sokrates dipecahkan Aristoteles dengan membedakan maupun menegaskan kesatuan unsur materi dan bentuk dalam setiap makhluk (sekaligus "materialized form" dan "formed matter"). Dengan demikian ia berusaha menerangkan banyaknya individu yang berbeda-beda, dalam satu "jenis" ("spesies"). "Bentuk" ("morphe", "form") dianggapnya sebagai yang memberi "aktualitas" pada individu yang bersangkutan. Sedangkan "materi" ("Hyle", "matter") seakan-akan menyediakan "kemungkinan" (Yunani: "dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan bentuk dalam setiap individu dengan cara yang berbeda-beda. Bentuk dalam hal makhluk hidup diberi nama "jiwa" (Yunani: "psyche", Latin: "anima", yang berlaku sama saja untuk tetumbuhan, hewan dan manusia. Hanya jiwa manusia yang mempunyai kedudukan istimewa, karena manusia berkat jiwanya yang khas itu tidak hanya sanggup "mengamati" dunia di sekitar secara inderawi, tetapi sanggup juga "mengerti" dunia maupun dirinya. Di samping itu adalah karena jiwa manusia dilengkapi "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang menerima, dan malahan mengucapkan "logos" (sabda, pengertian) yang pada gilirannya menjelma dalam sabda-sabda "jasmani" yang diberi nama bahasa.
"Nous" atau akal budi merupakan bagian paling mulia dalam diri manusia. Tak mengherankan kalau sesuai dengan keyakinan itu, unsur-unsur filsafat ketuhanan yang kita temukan dalam karya Arsitoteles, bertitik pangkal pada uraian kemampuan akal budi itu. Namun, berbeda dari kontemplasi terhadap idea-idea gaya Plato, Aristoteles dalam hal ini juga mencari dasar uraiannya dalam pengamatan inderawi di dunia yang berubah-ubah ini. Umpamanya pengamatan mengenai gejala adanya gerak-gerak fisik saja. Secara spontan kita mencari penggeraknya, yang pada giliranya tidak bebas dari gerak (dan perubahan) juga. Mungkin kita bisa maju sampai sederetan besar gerak dan penggerak. Hampir-hampir tanpa ada habisnya (deretan tak berhingga). Lambat laun muncullah keyakinan dalam diri manusia pengamat bahwa deretan macam itu belum memuaskan keinginannya untuk mengetahui dan terutama untuk mengerti. Sadarlah manusia bahwa ia "harus berhenti" dalam penyelidikan terhadap mata rantai berikutnya dan berikutnya lagi dan lagi. Ia merasa perlu memandang rantai, rangkaian atau deretan itu sebagai deretan. Dari manakah adanya deretan yang tak berhingga itu? Menurut Aristoteles, "nous" pada lapisan atau tahapnya yang tertinggi memahami bahwa kemampuannya untuk menatap deretan itu sebagai deretan, yang mengandung kemampuannya untuk menegaskan adanya "yang menggerak tanpa digerakkan sendiri" ("motor immobilis"). Keyakinan itu dihasilkan "nous" bukan sebagai "nous pathetikos" ("intellectus passivus" atau "possibilis") yang terutama dipengaruhi oleh kesan-kesan inderawi, melainkan sebagai "nous poietikos" ("intellectus agens") yang ikut menentukan isi pemahamannya secara aktif, karena suatu "daya pencipta" yang ternyatalah termuat di dalamnya. Jalan pikiran Aristoteles itu diterapkan Thomas Aquinas dalam "panca marga"-nya ("quinque viae") guna menyatakan adanya Tuhan berdasarkan pengalaman dan penalaran filosofis.
Cukup banyak uraian terdalam Aristoteles ditemukan dalam karyanya yang diberi judul Metafisika. Asas-asas terdalam yang digarap filsafat mengenai berbagai gejala, digarapnya dalam karya itu. Malahan judul (bukan dari Aristoteles sendiri) dari buku itu - yang berarti "sesudah fisika" - telah menjadi nama dari cabang filsafat yang sampai sekarang disebut metafisika. Buku Fisika karya Aristoteles memuat cara pendekatannya pada gejala-gejala alam guna dipelajari dari sudut filsafat. 
Dipelajari dari sudut filsafat. Misalnya, mengenai gejala perubahan di mana Aristoteles memakai lagi kedua istilah "kemungkinan" (Yunani: "dynamis", Latin: "potentia") dan aktualitas (Latin: "actus"), yang sudah disinggung di atas ini, sehubungan dengan susunan individu sebagai anggota dari suatu "jenis" atau "spesies". Maka dari itu, dalam wilayah tinjauan terhadap pertentangan antara "tetap" (Parmenides) dan "berubah-ubah" (Herakleitos), Arsitoteles berusaha mengatasi masalahnya dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala itu. Baik di dalam karya Parmenides maupun Herakleitos sama-sama termuat uraian termasyur mengenai apa itu waktu. Kontinuitas maupun "keterpecahan" atau "ketersebaran" yang menjadi ciri waktu dianalisis oleh Aristoteles.
Masih ada satu bidang lain dari filsafat Aristoteles yang amat mempengaruhi filsafat seterusnya, yakni etika, dan sebagai lanjutannya filsafat negara. Etika Aristoteles bertitik pangkal pada kenyataan bahwa manusia hendak mengejar kebahagiaan ("eudaimonia"). Sarana-sarana dan upaya-upaya yang dipilih manusia, dinilai berdasarkan tujuan tersebut. Kebahagiaan itu menyangkut manusia jiwa-raga sebagai anggota masyarakat, karena manusia ialah makhluk yang "hidup ber-polis" (polis: kota sebagai kesatuan negara pada masa Yunani kuno, sudah lama sebelum Aristoteles). Manusia ialah "zoon politikon". Ciri manusia sebagai makhluk hidup adalah hidup dalam polis, maka Aristoteles sangat menekankan sosialitas manusia. Masyarakat dalam bentuk negara itu dilihat Aristoteles sebagai suatu lembaga kodrati ("natural institution"), yaitu bukan berdasarkan persetujuan ("convention") saja seperti diajar oleh para sofis dan skeptikus pada masa itu. Dengan demikian semua warganegara wajib takluk pada negara, kepada para pemimpin dan kepada undang-undang. Dalam filsafatnya, Aristoteles mempunyai kecenderungan ke arah suatu totalitarisme negara. Negara itu di atas keluarga dan negara pun menyelenggarakan pendidikan. Pemimpin negara dapat dibentuk menurut beberapa pola berdasarkan pengamatan dan data-data yang diperoleh Aristoteles, antara lain melalui para muridnya. Monarki ialah cara pemerintahan di bawah satu ("monos") orang saja, yang dapat merosot menjadi tirani. Aristokrasi merupakan cara pemerintahan di bawah sekelompok orang yang dinilai sebaik yang terbaik ("aristoi"), dan dapat merosot menjadi oligarki (dikuasai oleh "segerombolan" orang yang bersekongkol). Demokrasi yang diberi juga nama "politeia" berada di bawah kuasa rakyat ("demos"), yang dapat merosot menjadi anarki (tanpa "arkhe" atau asas). Aristoteles tidak memilih salah satu dari ketiga bentuk dasar itu. Ia juga tidak suka memakai perbandingan dengan susunan manusia seperti Plato.
Meskipun tidak akan diuraikan panjang lebar, pengaruh filsafat keindahan dan estetika Aristoteles perlu disinggung di sini. Anggapan Aristoteles mengenai "katharsis" (pemurnian) yang terjadi dalam diri para penonton drama, merupakan suatu tinjauan atas apa yang ternyata berlangsung, lalu diusahakan agar diberi terang teoretis atas peristiwa yang telah diamati itu.
Akhirnya, dalam segala cabang filsafat yang sudah secara singkat kita tinjau, Aristoteles bertitik tolak pada apa yang diamati dalam hidup manusia dan hidup masyarakat. Katakanlah dari perbuatan-perbuatan dan tingkah laku mereka. Artinya dari "praxis" yang nyata, berdasarkan data-data yang banyak itu, ia berusaha maju sampai pada suatu "theoria" yang meliputi segala data pengamatan itu. Kemudian teori tersebut mudah-mudahan dapat menyediakan suatu "terang teoretis" atas data-data itu sedemikian rupa sehingga karena teori itu praksis tadi lebih masuk akal dan malahan mungkin untuk seterusnya dapat direncanakan dengan lebih teratur dan lebih sempurna. Demikianlah "perjalanan mondar-mandir" mengenai logika Aristoteles. Berkat Aristoteles kedua kata Yunani, praksis atau praktek dan teori telah menjadi milik ratusan bahasa di permukaan bumi. Dan, latar belakang pikirannya pun meresap.
Akhirnya patut dicatat bahwa Aristoteles berbeda dari Plato. Ia menjadi perintis pemeriksaan dalam ilmu-ilmu alam, termasuk ilmu hayat. Banyak hasil penelitian dan pengamatannya tampak ditegaskan kembali oleh pemeriksaan-pemeriksaan pada abad ke-20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar