BAB I
PENDAHULUAN
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan
bagaimana pengetahuan disusun dalam minda manusia. Unsur-unsur konstruktivisme
telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di peringkat
sekolah, maktab dan universiti tetapi tidak begitu ketara dan tidak ditekankan.
Menurut paham dari aliran konstruktivisme, ilmu pengetahuan
sekolah tidak boleh dipindahkan dari guru kepada siswa/anak didik dalam bentuk
yang serba sempurna. Murid perlu diberi binaan tentang pengetahuan menurut
pengalaman masing – masing.
Pembelajaran dalam konteks Konstruktivisme merupakan hasil dari
usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid sesuai dengan
prinsip Student centered bukan teacher centered. Blok binaan asas bagi ilmu
pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu suatu aktifitas mental yang
digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan
pengabstrakan dalam proses pemikiran anak. Pikiran murid tidak akan menghadapi
suatu realitas yang berwujud secara terasing dalam lingkungan sekitar.
Kenyataan yang diketahui murid adalah realitas yang dia bina
sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set ide dan pengalaman yang
membentuk struktur kognitif terhadap kelanjutan pola pengetahuan dan pemikiran
mereka.
Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru
harus mengambil kira struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila
istilah baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian dari
pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu
pengetahuan dapat dibina. Hal inilah yang biasa dinamakan dengan
konstruktivisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A)
Teori
Konstruktivisme Vygotsky
Sebelum
membahas lebih jauh tentang Teori Konstruktivisme Vygotsky, sedikit kami
paparkan tentang biografi Vygotsky,
Vygostsky
adalah seorang sarjana Hukum, tamat dari Universitas Moskow pada tahun 1917,
kemudia beliau melanjutkan studi dalam bidang filsafat, psikologi, dan sastra
pada fakultas Psikologi Universitas Moskow dan menyelesaikan studinya pada
tahun 1925 dengan judul disertasi “The Psychology of Art”. Dengan latar
belakang ilmu yang demikian banyak memberikan inspirasi pada
pengembangan teknologi pembelajaran, bahasa,
psikology pendidikan, dan berbagai teori pembelajaran. Vygotsky wafat pada
tahun 1934.
Vygotsky
menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan
sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam
lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari
lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai
peristiwa internalisasi (Taylor,
1993). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan
lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa
interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan
faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang.
Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan
efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam
suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang
yang lebih mampu, guru atau orang dewasa. Dengan hadirnya teori konstruktivisme
Vygotsky ini, banyak pemerhati pendidikan yang megembangkan model pembelajaran
kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model pembelajaran kelompok,
dan model pembelajaran problem poshing.
Konstruktivisme
menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky
berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi
(interpsychological) melalui interaksi sosial dan intra-psikologi
(intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi
dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara
inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan
dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua ide; Pertama,
bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya
dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000), Kedua,
Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem
tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam
Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya
diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan
masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem perhitungan.
Berkaitan
dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip
oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
(1) pembelajaran
sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah
pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui
interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap;
(2) ZPD (zone of
proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan
baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat
memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah
mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support
dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang
lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si
anak.
(3) Masa
Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang menjadikan siswa
sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan
orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai;
(4)
Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada
scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan
kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
Inti
teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal
dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial
pembelajaran. Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal
dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky
juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas
yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development
mereka.
B)
Hakikat Pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan
pengetahuan menurut konstruktivistik memandang siswa yang aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan.
Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian
realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun
melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh siswa itu sendiri.
Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan
dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus
menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting
dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, siswa
yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau
orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan
keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental learning
yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di
laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan
dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik
dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran
konstruktivistik, yaitu:
(1) mengutamakan pembelajaran yang
bersifat nyata dalam kontek yang relevan.
(2) mengutamakan proses,
(3) menanamkan pembelajran
dalam konteks pengalaman social,
(4) pembelajaran dilakukan
dalam upaya mengkonstruksi pengalaman
Ide-ide konstruktivis modern
banyak berlandaskan pada teori Vygotsky (Karpov & Bransford, 1995), yang
telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada
pembelajaran kooperatif, pembelajaran betbasis kegiatan, dan penemuan. Empat
prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya telah memegang suatu peran penting.
Salah satu diantaranya adalah penekanannya pada hakekat sosial dari
pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan
orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Pada proyek kooperatif, siswa
dihadapkan pada proses berfikir teman sebaya mereka: metode ini tidak hanya
membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa, tetapi juga membuat proses
berfikir siswa lain terbuka untuk seluruh siswa. Vygotsky memperhatikan bahwa
pemecahan masalah yang berhasil berbicara kepada diri mereka sendiri tentang
langkah-Iangkah pemecahan masalah yang sulit. Dalam kelompok kooperatif, siswa
lain dapat mendengarkan pembicaraan dalam hati ini yang diucapkan dengan keras
oleh pemecah masalah dan belajar bagaimana jalan pikiran atau pendekatan yang
dipakai pemecah masalah yang berhasil ini.
C)
Aspek-Aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot
mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation),
konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan
makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut
diadaptasi terhadap lingkungan yang dilakukan melalui dua proses yaitu
asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan
dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah
ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah
salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri
dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi. Dalam
menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang
telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi
Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang
ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi
bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih
tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan
pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding.
Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan
tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan
masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vigotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu
(1) siswa mencapai keberhasilan
dengan baik,
(2) siswa mencapai keberhasilan
dengan bantuan,
(3) siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffolding,
berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya
mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke
jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme
Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar
individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses
dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social
budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan
secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan
teknik saling tukar gagasan antar individual. Terdapat dua prinsip
penting yang diturunkan dari teori Vigotsky adalah:
(1) mengenai fungsi dan pentingnya bahasa
dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign)
sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,
(2) Zona of Proximal Development (ZPD)
Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani
siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Dalam
interaksi sosial dikelas, ketika terjadi saling tukar pendapat antar siswa
dalam memecahkan suatu masalah, siswa yang lebih pandai memberi bantuan kepada
siswa yang mengalami kesulitan berupa petunjuk bagaimana cara memecahkan
masalah tersebut, maka terjadi scaffolding, siswa yang mengalami kesulitan
tersebut terbantu oleh teman yang lebih pandai. Ketika guru membantu secukupnya
kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya, maka terjadi
scaffolding.
Konsep ZPD
Vigotsky berdasar pada ide bahwa perkembangan pengetahuan siswa ditentukan oleh
keduanya yaitu apa yang dapat dilakukan oleh siswa sendiri dan apa yang
dilakukan oleh siswa ketika mendapat bantuan orang yang lebih dewasa atau teman
sebaya yang berkompeten (Daniels dan Wertsch dalam Slavin 2000: 47).
D)
Pandangan
Konstruktivistik tentang belajar dan pembelajaran
Pengetahuan adalah non-objective,
bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Belajar adalah
penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas, kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan. Si belajar akan memiliki
pemahaman yag berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan
perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Mind berfungsi sebagai
alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam
dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik.
E)
Pandangan
Konstruktivistik tentang penataan Lingkungan Belajar
Dalam
hal ini kontruktivisme berpendapat bahwa kebebasan menjadi unsur yang
esensial dalam lingkungan
belajar. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat
sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
Kebebasan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang
harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam
belajar, dalam artian control
belajar dipegang/dikendalikan
oleh si belajar sendiri.
F)
Pandangan
Konstruktivistik tentang Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar
bagaimana belajar (learn how to learn)
G)
Pandangan
Konstruktivistik tentang strategi pembelajaran
-Penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara
bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.
-Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau
pandangan si belajar.
-Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan
bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir
kritis. Pembelajaran menekankan pada proses.
H) Pandangan Konstruktivistik tentang evaluasi
Evaluasi
menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan
terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata. Evaluasi
yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu
jawaban benar.
Evaluasi merupakan bagian utuh
dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar
yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata.
evaluasi menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok.
H)
Rancangan Pembelajaran
Konstruktivistik
Berdasarkan
teori Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat
dirancang/didesain dalam model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai
berikut:
- Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
- Penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
- Orientasi dan elicitasi. situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
- Refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
5. Resrtukturisasi
ide, berupa: (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang
gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum.
Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an
untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas.
Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka
didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan
mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas
dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan
paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah
mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses
konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya
sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual.
Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki
konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki
keunggulan dari gagasan yang lama.
6. Aplikasi. Menyakinkan siswa
akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah.
Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai
macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji
penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit
miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
- Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
-Marcy
P Driscoll, (2000) Psychology of Learning For instruction, Second
edition,
-Florida
State University
-Nur, Mohamad dan Wikandari, P. Retno. 2004. Pengajaran Berpusat
kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. UNESA, PSMS.
-Oahar,
Ratna Willis. (1988). Konstruktivisma dalam Mengajar dan Belajar
(Makalah)
-Ormrod, Jeanne Ellis. 1995. Educational Psychology Principles and Aplications, New
Jersey, Prentice Hall.
-Slavin, Robert E. (1997). Educational Psychology-Theory and
Practice. Fourth Edition. Boston,
Allyn and Bacon.
-Supamo,
Paul 2006, Filsafat Konstruktivisme dam Pendidikan. Yogyakarta,
-Vygotsky’s
Educational Theory in Cultural Context, Cambridge Universty press, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar