Sabtu, 24 Maret 2012

Sejarah Pendidikan Islam


MEMUTUSKAN LINGKARAN KETERBELAKANGAN
Apabila dunia pendidikan tidak dapat memanfaatkan itu, maka peluang untuk menciptakan pendidikan yang berpotensi sebagai penyebab terciptanya perubahan yang berencana dan bertujuan, akan sukar diperoleh lagi. Seterusnya, dunia pendidikan akan kembali memainkam peran pasif, tidak lebih dari sebuah akibat dari berbagai pengaruh eksternal dan internal, positif atau negatif. Pendidikan serupa ini bukan saja kontraproduktif. Ia bahkan akan menjadi reaktif, menyulitkan perkembangan peradaban manusia. Karenanya, secara strategis pendidikan serupa itu bertentangan dengan semangat berbangsa.
A.     Otonomisasi: Sebuah Proses Pembelajaran
Walaupun bangsa Indonesia harus menunggu cukup lama untuk menyaksikan lahirnya satu keputusan politik yang mengakui bahwa kekuatan bangsa ini harus ditumbuhkan di atas keberagaman bukan di atas keseragaman, akhirnya, berada juga di awal sebuah babak sejarah baru di mana kita harus mulai belajar hidup yang di dalam banyak hal berbeda dari dan bertentangan dengan kehidpan yang baru saja kita lalui. Banyak problem yang berkaitan dengan masalah otonomi daerah sekarng menumpuk di depan bangsa ini, bangsa yang belum di siapkan secara tuntas, bahkan belum terbiasa menghadapinya, dan yang sama sekali belum berpengalaman hidup di dalam dunia yang baru. Ini menjadi masalah tersendiri! Memahaminya, mempelajarinya, dan memecahkannya menjadi hamper tidak mungkin, setidak-tidaknya di dalam waktu yang singkat.
B.      Mengapa Lingkaran Keterbelakangan ?
Keterbelakangan adalah konsep yang relatif, karena dapat dilihat sebagai hasil perbandingan realitas dari berbagai sudut dan dengan berbagai pertmbangan. Keterbelakangan dalam kontek pendidikan, dapat di lihat dari sudut individual, regional, nasional, dan global, secara kualitatif dan kuantitatif dalam waktu tertentu. Dengan demikian, tidak mudah untuk menentukan patokan keterbelakangan dalam ukuran yang absolut. Tetapi dari mana pun kita melihatnya, ciri umumnya ialah bahwa keterbelakangan merujuk pada sebuah kondisi negatif.
Dengan memerhatikan realitas tersebut, yang sekurang-kurangnya dapat kita simpulkan sekarang adalah bahwa antara semua segi kehidupan terdapat hubungan yang senyawa dan bersifat pengaruh-memengaruhi. Keadaan inilah yang kemudian menciptakan lingkaran keterbelakangan yang dirasakan sebagai tidak berujung pangkal. Sekarang, pendidikan harus dengan sadar didesain kembali, terhadap kebutuhan masyarakat dalam kontek riil. Kalau benar pendidikan adalah untuk kehidupan, sekaranglah waktunya untuk menunjukkan bahwa programnya adalah program kehidupan.
C.      Strategi Melawan Keterbelakangan
Kondisi daerah yang sangat beragam tidak memungkinkan kita menyarankan seperangkat paradigma yang diharapkan berlaku umum dan mutlak daam setiap konteks waktu dan ruang. Secara umum kita melihat bahwa keterbelakangan justru terdapat didaerah. Tanpa memiliki berbagai kemudahan hidup, mereka bergantung pada kemurahan alam yang tidak selalu ramah. Kehidupan yang statis menandakan belum adanya kemungkinan peralihan menuju kehidupan yang lebih berkualitas.    
Pendidikan harus mampu mengambil hikmah masa lalu yang memperkaya hari ini. Pendidikan hari ini harus mengembangkan segala potensi untuk generasi sekarang, tetapi tetap memungkinkan generasi berikut untuk lebih lanjut membangun masa depan mereka. Masalahnya, banyak nilai masa lalu yang sudah semakin tidak relevan untuk kehidupan hari ini karena lingkungan dan syarat hidup manusia telah berubah secara drastis. Karena itu, masa lalu sudah semakin tidak dpat dijadikan rujukan untuk membangun masa depan. Dalam arti kata sebenarnya, pendidikan hari ini adalah usaha membangun sejarah masa depan.
Setiap proses dan wujud keterbelakangan, baik yang menonjol sebagai kemiskinan, kekurangterdidikan, ketersisihan atau dalam bentuk apapun yang bersifat negative dan menghalangi pemenuhan hak asasi masyarakat, harus dicegah. Apabila proses dan wujud keterbelakangan itu berlangsung dalam waktu yang lama, dampak keterbelakangan akan menjadi semakin negative, karena kondisi hidup yang negative, tanpa di tangani, sangat mudah meningkatkan sikap dan pandangan yang semakin negative. Pada akhirnya, kondisi ini dapat berpengaruh kepada pandangan hidup masyarakat, bahkan dapat mengental sebagai falsafah keterbelakangan. Falsafah keterbelakangan hanya semakin memperkuat sikap sikap negative sebagai tradisi masyarakat terbelakang. Kegagalan melahirkan kegagalan.

MENGHINDARI KURIKULUM YANG MENJEBAK
 Sumber dan karakteristik kurikulum yang menjebak ternyata menjadi daya haling yang menyebabkan guru tidak dapat secara optimal melaksanakan apa yang diharapkan dari mereka. Bahkan tidak mustahil birokrasi dan penyusun kurikulum pun dapat terjebak sendiri oleh ciptaannya. Bertolak dari pengamatan itu, disarankan oleh sejumlah alternative yang dapat dipertimbangkan untuk menciptakan kurikulum yang ramah guru, dengan kemungkinan berhasil yang lebih signifikan. Inti persoalannya, peningkatan kualitas pendidikan harus melibatkan perubahan sejumlah unsure determinan keberhasilan, tidak terpaku hanya pada perubahan kurikulum.

A.     Kurikulum: Sebuah Solusi Yang Bermasalah
Ketika para perumus kurikulum menerjemahkannya ke dalam rumus-rumus operasional dan teknis, pandangan mereka tentang falsafah metafisik manusia, etika , dan estetika, menjadi kabur. Lingkungan pendidikan pun, habitat guru berbakti. Karena itu, ketika kurikulum yang tidak ramah guru akhirnya jatuh di tangan mereka untuk dilaksanakan, kegagalan yang dihindari justru menjadi kenyataan.
Ada empat faktor yang mempengaruhi di antaranya:
ü  Faktor yang bersumber dari birokrasi, terutama ada harapan  dan perlakuan yang berlebihan dikalangan birokrat mengenai peran kurikulum.
ü  Faktor yang bersumber dari penyusun kurikulum, terutama karena lemahnya dasar-dasar filosofis dan psikologis dalam penjabaran program kurikulum.
ü  Faktor yang bersumber dari pelaksana kurikulum, terutama karena tingkat kompetensi dan profesionalisme yang kurang mendukung di kalangan para guru.
ü  Faktor yang bersumber dari ekosistem pendidikan, terutama karena tidak ada kuatnya dukungan sosial dan ketersediaan infrastruktur pendidikan.
Yang terjadi di dalam masyarakat ialah bahwa para guru, orangtua, anak didik, dan masyarakat luas, lebih sering, dan lebih banyak mengutarakan ketidaksepakatan mereka, apapun alasannya. Setidak-tidaknya, belum pernah ada kurikulum baru yang di sambut masyarakat dengan antusiasme. Masyarakat sudah mulai terkondisi untuk meragu-ragukan keunggulannya. Perbedaan persepsi dan penilaian antara kedua pihak itu, yakni antara penyusun kurikulum dengan pelaksana kurikulum, berpotensi mengabadikan posisi problematis kurikulum. Apa yang oleh satu pihak diperkirakan sebagai sumbangan yang berarti dari kurikulum, bias jadi maksimal hanya dianggap sebagai hasil-hasil semu oleh pihak yang lain, hasil-hasil yang secara fundamental tidak berarti apa-apa di dalam dimensi ruang dan waktu yang lebih luas.
B.      Kurikulum Yang Berpotensi Menjebak
Guru dan kurikulum menjadi unsur yang sangat penting. Lalu dalam arti yang bagaimana dan mengapa kurikulum berpotensi menjebak?
Kurikulum berpotensi menjebak apabila kondisi-kondisi kritis ini menjadi dominant:
Ø  Kurikulum diperlukan lebih penting dari guru. Ini terjadi ketika guru menempatkan diri di bawah kurikulum. Artinya, karena kurikulum sudah diciptakan sebagai buku pintar yang di asumsikan sudah serba baik, perubahan atau penyimpangan oleh guru tidak dibenarkan. Jadi ketika kurikulum menjebak , tiadak ada lagi yang dapat diharapkan dari sekolah, kecuali rutinitas yang harus bertahan sampai pada kurikulum berikutnya.
Ø  Kurikulum diperlukan sebagai sumber lengkap pengatahuan. Kalau memang kurikulum dapat disusun serba lengkap, sesungguhnya beban guru menjadi sangat ringan, dia tidak perlu bersusah payah mencari bahan pembelajaran yang relevan. Tetapi dalam realitas, tidak ada kurikulum yang dapat dikembangkan sedemikian sehingga merupakan sumber yang serba lengkap.
Ø  Kurikulum diperlukan sebagai program baku yang berpotensi universal. Sebuah kurikulum nasional yang mencakup wialayah sebesar Indonesia, berpotensi menjebak.
Ø  Kurikulum diperlukan sebagai potensi utama dalam meningkatkan kualitas. Kia sudah menduga tindakan pemerintah mengganti kurikulum dari waktu ke waktu dengan harapan pendidikan menjadi semakin relevan, dan kualitasnya menjadi semakin tinggi.
Ø  Kurikulum didukung sebagai strategi untuk melestarikan masa lalu. Bahwa kurikulum didesain dengan orientasi yang secara sadar ditujukan ke masa depan , tidak pernah meyakinkan, dari sejak kurikulum yang prtana sampai pada k-40.
Sampai sejauh ini kita masih berbicara tentang pendekatan strategi kurikuler secara umum. Ketika kita mulai memusatkan perhatian pada keberagaman daerah yang sangat tinggi, jelas pendekatan bahwa birograsi harus lebih sadar memperhitungkan dinamika masyarakat.
C.      Menuju Kurikulum Yang Ramah Guru
Kurikulum dimaksudkan untuk membantu, bukan menyusahkan guru. Kesukaran yang timbul dari kurikulum yang dihadapi oleh guru dengan sendirinya berdampak pada pihak yang paling berhak memproleh manfaat dari kurikulum.kritik terhadap pola itu membuahkan perubahan yang menggembirakan walaupun tidak sepenuhnya.
Sikap yang tidak nyaman dan pemahaman yang salah yang melekat pada guru hanya akan merugikan murid, bukan penyusun kurikulum. Kurikulum yang begitu berat dan ketat tidak dapat tampil ramah pada guru, bahkan sifat-sifat itu tidak akan menjadikan kurikulum lebih bermanfaat. Lebih jauh lagi, kurikulum tidak akan ramah terhadap murid. kita dapat menyepakati bahwa kurikulum memang diperlukan di dalam system persekolahan yang modern, dalam arti bahwa setiap guru memerlukan panduan untuk dijadikan pegangan sehari-hari dalam kaitan kelembagaan. Tetapi ini harus tidak menjadikan kurikulum bersifat mutlak dalam arti bahwa apa pun yang dicantumkan oleh kurikulum harus diperlukan secara ketat dan mutlak. Dengan kesepakatan seperti itu, kita telah mencapai titik persamaan untuk menciptakan kurikulum yang kurang problematis dan tidak menjebak, bahkan menuju pada kurikulum yang ramah guru dan benar-benar berfaedah bagi anak bangsa.


PENDIDIKAN YANG MENGINDONESIAKAN
Kita sekarang melihat bahwa kebanggaan menjadi bangsa Indonesia telah mulai luntur. Hedonisme yang melanda masyarakat hanyalah satu dari banyak fenomena negative yang menggambarkan bahwa kemerdekaan dan segala manfaatnya diterima sebagai sudah sewajarnya begitu, tanpa pemahaman yang lebih dalam. Bahkan karena itu, mereka sudah lebih banyak hanya menuntut dari pada berperan serta. Benih-benih perpecahan yang bersumber dari semakin tipisnya nasionalisme bangsa ini telah menimbulkan berbagai kemungkinan untuk kehancuran diri. Berbagai masalah berbangsa telah disikapi dengan prilaku yang menggambarkan bahwa kecerdasan hidup bangsa semakin menurun. Pendidikan ternyata tidak mampu menyentuh segi-segi persoalan berbangsa tersebut.

A.     Apakah Tidak Nadir Kualitas Pendidikan Sudah Berhenti Menurun
Harapan dapatnya dimulai dapat menumbuhkan kekuatan titik balik diperkuat oleh datangnya orde reformasi yang menjanjikan perubahan yang mendasar, dengan hasil yang juga berbeda secara mendasar. Timbul harapan yang sangat kuat bahwa pada akhirnya bangsa Indonesia dapat kembali menikmati kemerdekaan yang menjanjikan nilai-nilai hidup yag manusiawi. Akan tetapi, sampai sekarang, reformasi itu ternyata hanya menjadi wacana politik, tanpa kometmen yang jujur dan cerdas untuk merealisasikannya sebagai upaya pemberian makna kepada kemerdekaan. Tidak pernah ada rencana dan kometmen yang kuat, yang dibangun secara nasional untuk menghadapi segala hambatan pembangunan, hanbatan yang harus dihadapi secara frontal dan kolektif melalui reformasi. Tidak pernah.
Dilihat dari sudut mana pun, dan diukur dengan kriteria manapun, sukar disangkal bahwa pendidikan Indonesia telah menduduki tempat yang sangat buruk di dalam sejarah perkembangan pendidikan sejak kemerdekaan. Kedudukan ini bukan saja dalam perbandingannya dengan sejumlah Negara yang semula berada dibelakang tetapi yang kemudian mulai melaju meninggalkan Indonesia, tetapi terutama di dalam perbandingannya dengan tugas konstitusi yang diamanahkan.

B.      Pendidikan Nasional Dari Sudut Kepentingan Siapa
Inilah yang di dalam dunia pendidikan harus dikaji sekali lagi secara mendalam, karena ketika makna berbangsa dan bernegara mulai retak dalam konteks individual semata-mata, maka dimensi nasionalnya sudah hilang. Oleh karena itu, eksistensi bangsa ini terancam oleh kekuatan disentegratif datang tidak lagi dari luar saja, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri. Kembali kita harus mempertanyakan makna pendidikan kita berpredikat nasional. Kalau pendidikan nasional belum tentu terkait dengan nilai-nilai nasional, dan belum menjadi kekuatan yang menentukan di dalam membangun nasionalisme Indonesia sebagai yang di amanahkan oleh konstitusi, pertanyaan yang selanjutnya adalah: apakah tidak mungkin bahwa pendidikan yang berpredikat nasional itu dalam rohnya justru bersifat a-nasional, kalau bukan anti nasional? Mudah-mudahan tidak.
C.      Pendidikan Bermasalah Yang Cenderung Berkepanjangan
1.       kekurangmantapan politik pendidikan
            Pendidikan terlibat lansunng dalam proses pertentangan itu, sehingga pendidikan yang sampai pada hari ini belum pulih, haya mampu yang menyelamatkan diri melalui paradigma bertahan. Tidak ada kemampuan yang cukup tampil sebagai kekuatan pembaru dalam proses pembangunan bangsa. Dunia pendidikan menjadi dunia yang penuh dengan maslah internal.
Karena ketidakmantapan itu, angkatan guru turut tercabik dalam kubu yang bertentangan, bahkan para peserta didikpun tebagi-bagi dalam pertentangan yang sama. Dengan demikian dapat diamati, ketidakmantapan pendidikan politik membawa pendidikan kepada kondisi kehancuran. para penyelenggara Negara serta sejumlah pemimpin kekuatan sosial politik tidak dapat berbuat bayak untuk memulihkan kebijakan pendidikan sejalan dengan kehendak konstitusi dan siap siaga terhadap tantangan dunia maju.
2.       kekurangamampuan birokrasi pendidikan
            Karakter birokrasi yang seharusnya menjadi kekuatan profesional yang cerdas didalam memerjuangkan pendidikan kepentingan masyarakat, semakin lama semakin menjadi sekedar birokrasi atas nama pendidikan, lebih cenderung membela kepentingan birokrasi sendiri, dengan sikap serta pendekatan yang amaturistik, prakmatik dan formalistik. Satu-satunya yang selalu dinamis ditangan para birokrat serupa itu adalah pengelolahan pendidikan berbasis peratuaran : mengatur dan mengatur dan megatur, menjadikan dunia pendidikan. Akibat selanjutnya, kebijakan pengelolahan menjadi kekuatan yang justru sangat tidak bersahabat terhadap gagasan pembaruan diluar kewenangan birokrasi, kerena birokrasi sendiri tidak didesain untuk mengatur pembaruan.
3.      kekurangpahaman pelaksana pendidikan
Kondisi ini diperkuat pendekatan pengelolaan pendidikan yang senantiasa berbasis tradisi dan konvensi. Guru dan tenaga kependidikan lainnya cenderung menjadi tidak peduli terhadap dunia yang mereka huni sehari-hari. Mereka tampak sebagai pendidik yang tidak pernah mampu merintis pembaruan, dan hanya berfungsi tidak lain sebagai kekuatan antipembaruan.

PROFESIONALISASI DAN SERTIFIKASI GURU
Sistem sertifikasi guru adalah gagasan yang baik, sedikitnya dari sudut kepentingan birokrasi. Tetapi, sistem ini tidak akan berhasil apabila diterapkan semata-mata sebagai pendekatan birokratis untuk memonitor kondisi dan kinerja guru. Alih-alih memecahkan masalah, tidak menutup kemungkinan sertifikasi hanya melahirkan masalah baru.
A.     Mengapa Sertifikasi Bagi Guru?
Berdasarkan pengalaman Negara-negara maju yang lebih dulu menerapakan system sertifikasi, sertifikasi umumnya diartikan sebagai prosedur pemberian wewenang (dalam bentuk sebuah sertifikat) kepada seseorang yang sudah memiliki kompetensi tertentu untuk melaksanakan tugas profesional di bidang pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan aktifitas kependidikan di sekolah.
Dengan demikian, sertifikasi berfungsi sebagai surat izin atau lisensi mengajar, yang membenarkan bahwa pemegang lisensi memenuhi syarat tertentu yang terkait dengan seperangkat kompetensi professional. 
B.      Memahami Sertifikasi Dari Sudut Nonteknis
Kalau dari sudut pandang birokrasi prosedur itu dapat dinilai sebagai pendekatan yang tepat, belum tentu begitu dari sudut pandang guru sendiri. Kecuali dari segi kepentingan administrasi kepegawaian, sertifikasi belum dapat dijadikan jaminan akan terjadinya peningkatan kualitas professional guru. Ketika setiap orang guru harus mempunyai sertifikat, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah lulusan kursus instan selama beberapa minggu atau beberapa bulan, atau lulusan LPTK setelah belajar 4 atau 5 tahun, atau guru senior yang sudah menyumbangkan hamper seluruh masa hidupnya untuk pendidikan, sertifikasi saja tidak akan memberikan dampak yang signifikan. Kita bias bertanya atas dasar empiris, apakah rendahnya kualitas guru atau menurunnya kualitas pembelajaran di masa lalu disebabkan tidak adanya sertifikasi, ataukah oleh sesuatu yang lain, yang mungkin lebih signifikan? Apakah pandangan ini dapat diberlakukan kepada sekitar 2,5 juta guru di seluruh Indonesia? Bagaimana dengan guru-guru yang bertugas di berbagai lembaga pendidikan tinggi.    
C.      Mengapa Intervensi Sertifikasi Sekarang
Masih banyak faktor lain, yang mungkin lebih mendesak, yang apabila tidak diperhitungkan secara bersama-sama, akan menghambat atau bahkan menggagalkan intervensi pemerintah tersebut. Karena itu, sertifikasi perlu diletakkan sebagai bagian integral dari sebuah strategi pemberdayaan dengan peningkatan kualitas kinerja guru, sekarang, dan untuk masa depan. Dalam persepsi guru pada umumnya, persoalan yang lebih, bahkan paling mendesak adalah kesejahteraan dan dukungan kehidupan guru serta pengadaan ekologi yang kondusif, yang terkait dengan kinerjanya. Sudah terlalu lama guru merasakan bahwa itulah masalah yang paling mendesak, sehingga secara sederhana sering dijadian syarat utama bagi peningkatan kinerja guru.
D.     Dunia Guru Tanpa Hambatan 
Dunia yang tidak berpihak kepada pembaruan adalah dunia yang penuh hambatan. Dunia serupa itu, adalah dunia yang berpotensi untuk gagal, dan berpotensi untuk semakin gagal. Tidak ada lagi alasan mengapa halangan-halangan yang ada dihadapi hanya secara sporadis, berdasarkan preferensi, atau berdasarkan selera seseorang. Bahwa masing-masing dari kita cenderung berbeda pandangan, itu tentu wajar saja, karena sebagian besar dari perbedaan itu berasal dari perbedaan sudut pandang dan titik ketinggian tempat kita berpijak. Tidak sedikit usaha birokrasi di masa lalu yang menggambarkan pandangan yang berlawanan dengan yang disarankan di sini. Perjalanan sejarah menjadi lain apabila sejak awal guru telah dilibatkan menyumbang pikiran mereka untuk menyusun kurikulum, pengelolaan pembelajaran berbasis sekolah, penerapan pelayanan yang bermutu, pelakanaan ujian akhir. Bahwa pada awalnya mungkin guru pun menjadi gagap karena selama ini mereka memang hanya terbiasa dijadikan unsure pelaksana. Tetapi dengan peluang yang terbuka, semua akan menjadi lain. keterlibatan guru di dalam dunia pengabdiannya, adalah proses belajar yang sangat berharga bagi semua pihak. Dengan jalan ini, jelas bahwa tujuan sertifikasi akan lebih mudah tercapai dengan baik.      

KUALITAS PEMBELAJARAN DAN PROFESIONALISASI KOMPETENSI
Konsep yang akan mendominasi pengembangan pendidikan di masa depan adalah kualitas dan kompetensi, karena keduanya diperhitungkan sebagai kunci utama dalam mengatasi kondisi buruk pendidikan selama ini.
1.      Kualitas Pembelajaran Bersistem

A.     Jangkauan Sebuah Kualitas
Kualitas pembelajaran berarti beragam bagi banyak orang. Ini dapat membingungkan. Yang jelas, guru tidak dapat diminta bertanggung jawab terhadap semua hal didalam pendidikan yang dinilai sebagai tidak berkualitas. 
B.      Lima Komponen Utama Kualitas Pembelajaran
Bagaimana seorang guru dapat berkarya secara efektif dan efisien dalam kondisi yang tidak memenuhi standar, misalnya apabila program pembelajaran atau lingkungan pembelajaran tidak mendukung? Bagaimana pula apabila diantara komponen satuan pendidikan, yang dinilai masih berada pada tingkat sub-standar, adalah justru para guru dan tenaga kependidikan lainnya? Dimensi pembelajaran sekitar persoalan seperti itulah yang perlu langsung menjadi perhatian setiap orang guru secara professional.
Komponen 1: Peserta Didik (pembelajar) Berkualitas 
Peserta didik, sebagai mitra pembelajar guru merupakan komponen pertama yang lazimnya menjadi ukuran keberhasilan sebuah system pendidikan. Tetapi sering kali ukuran keberhasilan itu menjadi satu-satunya ukuran yang digunakan. Masuknya peserta didik dalam system pembelajaran, serta terlibatnya di dalam seluruh proses pembelajaran merupakan dimensi lain yang harus diperhitungkan secara penuh dalam peningkatan kualitas.
Komponen 2: Program Pembelajaran Berkualitas
Program pembelajaran yang berkualitas mencakup dua aspek utama: materi dan proses; keduanya harus mencerminkan perpaduan kualitas yang tinggi. Di masa lalu, baik dilihat dari kebijakan birokrasi maupun dari praktik yang berlangsung di lapangan, seringkali terjadi pemisahan yang tidak menguntungkan antara keduanya. Setidak-tidaknya, penanganan kedua aspek itu masih kurang terpadu. Memang, ditingkat perencanaan, keduanya dapat ditangani secara terpisah: materi dituangkan ke dalam bentuk tertentu dan tersendiri sebagai kurikulum, dan proses dikenal sebagai metodologi pembelajaran, yang juga ditangani terpisah.
Komponen 3: Ekosistem Pembelajaran Berkualitas
Ekosistem atau lingkungan pembelajaran yang berkulitas dapat dilihat dalam perspektif yang sangat luas, mencakup lingkungan politik, social, dan budaya yang berdimensi nasional maupun global. Tetapi sejauh yang terkait sehari-hari dengan tugas professional seorang guru, ekosistem yang dimaksud perlu dibatasi pada komponen sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar. Keberhasilan guru menciptakan suasana yang berkualitas pada tiga lingkungan tersebut merupakan dukungan yang sangat berharga dalam usaha peningkatan kualitas pembelajaran.
Komponen 4: Lembaga Pembelajaran Berkualitas
Dalam banyak hal, sekolah telah termakan tradisi yang panjang, bertahan hidup sebagai lembaga yang jauh dari berkualitas. Di dalam proses tradisional itu, tidak jarang terjadi guru sendirilah yang ternyata turut mempertahankan kondisi yang jauh dari berkualitas, sehingga bukan saja murid, orang tua dan anggota masyarakat yang tidak merasakan kegembiraan berada di sekolah, tetapi guru sendiri pun demikian! Tidak semua lembaga pendidikan (terutama merujuk pada sekolah) menampilkan wajah yang tidak berkualitas, tetapi besar kemungkinan bahwa guru menghadapi kehidupan sekolah yang negative, dengan beberapa atau semua karakteristik.
Komponen 5: Guru, Fasilitator Pembelajaran Berkualitas
Angkatan guru sendiri sudah lama terbenam dalam kehidupan pembelajaran dengan kualitas yang sangat rendah, walaupun terbukti masih cukup berfungsi bila dilihat dari kebutuhan pembelajaran di masa lalu. Ketika kita bisa merasa puas dengan kegiatan mengajar dan belajar yang tidak lebih dari pembelajaran yag behavioristik dam kognitif itu pun pada tingkat paling rendah maka kita tidak perlu mengeluh. Ditambah lagi dengan pandangan kita yang terbatas, yang terpaku hanya pada hasil akhir pembelajaran, tanpa memermasalahkan proses dan lain-lain komponen pembelajaran berkualitas. Semua terasa wajar-wajar saja.
Akan tetapi, aspirasi kehidupan bangsa yang semakin tinggi, dan kemajuan dunia yang semakin pesat, telah membuat apa yang dimiliki di masa lalu yang dianggap unggul sekarang sudah menjadi tidak relevan. Kualitas guru di masa lalu segera menjadi tidak relevan untuk kebutuhn hari ini; bahkan, dengan meneruskan dan mempertahankan tingkat keunggulan masa lalu, kehadiran guru hanya akan menjadi kontraproduktif. Kalau tidak sebagian besar, sekurang-kurangnya masih banyak guru yang antara lain:
Ø  Terbatas memahami bahwa tugas seorang guru adalah mengajar, bukan (lagi) belajar, memfasilitasi, dan mengelola kualitas.
Ø  Tidak mampu mengajar secara bermakna, karena mereka sendiri tidak pernah memahami hakikat belajar sebenarnya.
Ø  Tidak mampu menumbuhkan kegairahan belajar, karena mereka sendiri kurang bergairah mengajar dan tidak hidup sebagai pembelajar.
Ø  Tidak mampu merangsang anak berfikir kritis, dan kreatif, karena guru sendiri terjebak dalam cara berfikir konformistik d dogmatis.
Ø  Tidak mampu merintis pendekatan pembaruan kerena mereka sendiri terikat oleh kebiasaan rutin dan tradisi yang membelenggu.
Ø  Tidak berani berinovasi karena inovasi dirasakan sebagai hal baru yang mengandung resiko, sedangkan berpegang pada cara yang lama dianggap lebih memberikan rasa aman.
Ø  Tidak memahami makna profesionalisme dan otonomi guru dalam memfasilitasi pembelajaran.
Ø  Tidk memiliki dasar falsafah dan etika profesi yang jelas, dan tidak menyadari perannya sebagai penanggung jawab pembelajaran.

2.      Kompetensi di Tangan Guru

A.     Memaknai Urgensi Kompetensi Akademik
Menggembirakan mengetahui bahwa pada suatu saat, mungkin satu dekade dari sekarang, tidak ada lagi guru di Indonesia yang berpendidikan akademik di bawah tingkat S1/D-4. Tetapi apakah arti ketentuan ini di dalam jangka panjang? Bahwa kuantitas dan jenis pengetahuan yang di peroleh calon guru cukup banyak, masih tetap harus dipertanyakan relevansinya dari kenyataan bahwa:
v  Pengetahuan dan teknologi senantiasa berkembang, dengan orientasi dan motivasi yang tidak selalu sejalan dengan kebutuhan kependidikan dan kondisi daerah.
v  Pengetahuan yang di pelajari  belum tentu Janis yang di butuhkan di sekolah, terutama ditingkat dasar, di daerah-daerah bermasalah.
v  Pengetahuan yang banyak tidak harus berarti relevan, dan tidak serta merta menyiapkan seseorang untuk menjadi guru yang kompeten dan berkualitas.
v  Tidak ada jaminan dan mekanisme yang menjamin sinkronisasi program pembelajaran dengan kualifikasi yang diperoleh melalui pendidikan akademik.
Dengan kata lain, kompetensi adalah kemampuan profesional, yang berfungsi untuk kepentingan kualitas. Merujuk pada sekurang-kurangnya lima komponen kualitas pembelajaran yng secara sistematis, maka implikasinya ialah kompetensi yang diperlukan dari setiap guru adalah kompetensi yang berkaitan langsung dengan komponen itu, bukan kompetensi umum yang merupakan kompetensi lepas dan tidak terfokus.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar