MEMUTUSKAN LINGKARAN KETERBELAKANGAN
Apabila dunia pendidikan tidak dapat
memanfaatkan itu, maka peluang untuk menciptakan pendidikan yang berpotensi
sebagai penyebab terciptanya perubahan yang berencana dan bertujuan, akan sukar
diperoleh lagi. Seterusnya, dunia pendidikan akan kembali memainkam peran
pasif, tidak lebih dari sebuah akibat dari berbagai pengaruh eksternal dan
internal, positif atau negatif. Pendidikan serupa ini bukan saja
kontraproduktif. Ia bahkan akan menjadi reaktif, menyulitkan perkembangan
peradaban manusia. Karenanya, secara strategis pendidikan serupa itu
bertentangan dengan semangat berbangsa.
A. Otonomisasi:
Sebuah Proses Pembelajaran
Walaupun bangsa Indonesia harus
menunggu cukup lama untuk menyaksikan lahirnya satu keputusan politik yang
mengakui bahwa kekuatan bangsa ini harus ditumbuhkan di atas keberagaman bukan
di atas keseragaman, akhirnya, berada juga di awal sebuah babak sejarah baru di
mana kita harus mulai belajar hidup yang di dalam banyak hal berbeda dari dan bertentangan
dengan kehidpan yang baru saja kita lalui. Banyak problem yang berkaitan dengan
masalah otonomi daerah sekarng menumpuk di depan bangsa ini, bangsa yang belum
di siapkan secara tuntas, bahkan belum terbiasa menghadapinya, dan yang sama
sekali belum berpengalaman hidup di dalam dunia yang baru. Ini menjadi masalah
tersendiri! Memahaminya, mempelajarinya, dan memecahkannya menjadi hamper tidak
mungkin, setidak-tidaknya di dalam waktu yang singkat.
B.
Mengapa Lingkaran Keterbelakangan ?
Keterbelakangan adalah konsep yang relatif,
karena dapat dilihat sebagai hasil perbandingan realitas dari berbagai sudut
dan dengan berbagai pertmbangan. Keterbelakangan dalam kontek pendidikan, dapat
di lihat dari sudut individual, regional, nasional, dan global, secara
kualitatif dan kuantitatif dalam waktu tertentu. Dengan demikian, tidak mudah
untuk menentukan patokan keterbelakangan dalam ukuran yang absolut. Tetapi dari
mana pun kita melihatnya, ciri umumnya ialah bahwa keterbelakangan merujuk pada
sebuah kondisi negatif.
Dengan memerhatikan realitas
tersebut, yang sekurang-kurangnya dapat kita simpulkan sekarang adalah bahwa
antara semua segi kehidupan terdapat hubungan yang senyawa dan bersifat
pengaruh-memengaruhi. Keadaan inilah yang kemudian menciptakan lingkaran
keterbelakangan yang dirasakan sebagai tidak berujung pangkal. Sekarang,
pendidikan harus dengan sadar didesain kembali, terhadap kebutuhan masyarakat
dalam kontek riil. Kalau benar pendidikan adalah untuk kehidupan, sekaranglah
waktunya untuk menunjukkan bahwa programnya adalah program kehidupan.
C.
Strategi Melawan Keterbelakangan
Kondisi daerah yang sangat beragam
tidak memungkinkan kita menyarankan seperangkat paradigma yang diharapkan
berlaku umum dan mutlak daam setiap konteks waktu dan ruang. Secara umum kita
melihat bahwa keterbelakangan justru terdapat didaerah. Tanpa memiliki berbagai
kemudahan hidup, mereka bergantung pada kemurahan alam yang tidak selalu ramah.
Kehidupan yang statis menandakan belum adanya kemungkinan peralihan menuju
kehidupan yang lebih berkualitas.
Pendidikan harus mampu mengambil
hikmah masa lalu yang memperkaya hari ini. Pendidikan hari ini harus
mengembangkan segala potensi untuk generasi sekarang, tetapi tetap memungkinkan
generasi berikut untuk lebih lanjut membangun masa depan mereka. Masalahnya,
banyak nilai masa lalu yang sudah semakin tidak relevan untuk kehidupan hari
ini karena lingkungan dan syarat hidup manusia telah berubah secara drastis.
Karena itu, masa lalu sudah semakin tidak dpat dijadikan rujukan untuk
membangun masa depan. Dalam arti kata sebenarnya, pendidikan hari ini adalah
usaha membangun sejarah masa depan.
Setiap proses dan wujud
keterbelakangan, baik yang menonjol sebagai kemiskinan, kekurangterdidikan,
ketersisihan atau dalam bentuk apapun yang bersifat negative dan menghalangi
pemenuhan hak asasi masyarakat, harus dicegah. Apabila proses dan wujud
keterbelakangan itu berlangsung dalam waktu yang lama, dampak keterbelakangan
akan menjadi semakin negative, karena kondisi hidup yang negative, tanpa di
tangani, sangat mudah meningkatkan sikap dan pandangan yang semakin negative. Pada
akhirnya, kondisi ini dapat berpengaruh kepada pandangan hidup masyarakat,
bahkan dapat mengental sebagai falsafah keterbelakangan. Falsafah keterbelakangan
hanya semakin memperkuat sikap sikap negative sebagai tradisi masyarakat
terbelakang. Kegagalan melahirkan kegagalan.
MENGHINDARI KURIKULUM YANG MENJEBAK
Sumber dan karakteristik kurikulum yang
menjebak ternyata menjadi daya haling yang menyebabkan guru tidak dapat secara
optimal melaksanakan apa yang diharapkan dari mereka. Bahkan tidak mustahil
birokrasi dan penyusun kurikulum pun dapat terjebak sendiri oleh ciptaannya.
Bertolak dari pengamatan itu, disarankan oleh sejumlah alternative yang dapat
dipertimbangkan untuk menciptakan kurikulum yang ramah guru, dengan kemungkinan
berhasil yang lebih signifikan. Inti persoalannya, peningkatan kualitas
pendidikan harus melibatkan perubahan sejumlah unsure determinan keberhasilan,
tidak terpaku hanya pada perubahan kurikulum.
A.
Kurikulum: Sebuah Solusi Yang Bermasalah
Ketika para perumus kurikulum
menerjemahkannya ke dalam rumus-rumus operasional dan teknis, pandangan mereka
tentang falsafah metafisik manusia, etika , dan estetika, menjadi kabur.
Lingkungan pendidikan pun, habitat guru berbakti. Karena itu, ketika kurikulum
yang tidak ramah guru akhirnya jatuh di tangan mereka untuk dilaksanakan,
kegagalan yang dihindari justru menjadi kenyataan.
Ada empat faktor yang mempengaruhi di antaranya:
ü Faktor yang
bersumber dari birokrasi, terutama ada harapan
dan perlakuan yang berlebihan dikalangan birokrat mengenai peran
kurikulum.
ü Faktor yang
bersumber dari penyusun kurikulum, terutama karena lemahnya dasar-dasar
filosofis dan psikologis dalam penjabaran program kurikulum.
ü Faktor yang
bersumber dari pelaksana kurikulum, terutama karena tingkat kompetensi dan
profesionalisme yang kurang mendukung di kalangan para guru.
ü Faktor yang
bersumber dari ekosistem pendidikan, terutama karena tidak ada kuatnya dukungan
sosial dan ketersediaan infrastruktur pendidikan.
Yang terjadi di dalam masyarakat
ialah bahwa para guru, orangtua, anak didik, dan masyarakat luas, lebih sering,
dan lebih banyak mengutarakan ketidaksepakatan mereka, apapun alasannya. Setidak-tidaknya,
belum pernah ada kurikulum baru yang di sambut masyarakat dengan antusiasme.
Masyarakat sudah mulai terkondisi untuk meragu-ragukan keunggulannya. Perbedaan
persepsi dan penilaian antara kedua pihak itu, yakni antara penyusun kurikulum
dengan pelaksana kurikulum, berpotensi mengabadikan posisi problematis
kurikulum. Apa yang oleh satu pihak diperkirakan sebagai sumbangan yang berarti
dari kurikulum, bias jadi maksimal hanya dianggap sebagai hasil-hasil semu oleh
pihak yang lain, hasil-hasil yang secara fundamental tidak berarti apa-apa di
dalam dimensi ruang dan waktu yang lebih luas.
B.
Kurikulum Yang Berpotensi Menjebak
Guru dan kurikulum menjadi unsur yang
sangat penting. Lalu dalam arti yang bagaimana dan mengapa kurikulum berpotensi
menjebak?
Kurikulum berpotensi menjebak apabila kondisi-kondisi kritis
ini menjadi dominant:
Ø Kurikulum
diperlukan lebih penting dari guru. Ini terjadi ketika guru menempatkan diri di
bawah kurikulum. Artinya, karena kurikulum sudah diciptakan sebagai buku pintar
yang di asumsikan sudah serba baik, perubahan atau penyimpangan oleh guru tidak
dibenarkan. Jadi ketika kurikulum menjebak , tiadak ada lagi yang dapat diharapkan
dari sekolah, kecuali rutinitas yang harus bertahan sampai pada kurikulum
berikutnya.
Ø Kurikulum
diperlukan sebagai sumber lengkap pengatahuan. Kalau memang kurikulum dapat
disusun serba lengkap, sesungguhnya beban guru menjadi sangat ringan, dia tidak
perlu bersusah payah mencari bahan pembelajaran yang relevan. Tetapi dalam
realitas, tidak ada kurikulum yang dapat dikembangkan sedemikian sehingga
merupakan sumber yang serba lengkap.
Ø Kurikulum
diperlukan sebagai program baku yang berpotensi universal. Sebuah kurikulum
nasional yang mencakup wialayah sebesar Indonesia, berpotensi menjebak.
Ø Kurikulum
diperlukan sebagai potensi utama dalam meningkatkan kualitas. Kia sudah menduga
tindakan pemerintah mengganti kurikulum dari waktu ke waktu dengan harapan
pendidikan menjadi semakin relevan, dan kualitasnya menjadi semakin tinggi.
Ø Kurikulum
didukung sebagai strategi untuk melestarikan masa lalu. Bahwa kurikulum didesain
dengan orientasi yang secara sadar ditujukan ke masa depan , tidak pernah
meyakinkan, dari sejak kurikulum yang prtana sampai pada k-40.
Sampai sejauh ini kita masih
berbicara tentang pendekatan strategi kurikuler secara umum. Ketika kita mulai
memusatkan perhatian pada keberagaman daerah yang sangat tinggi, jelas
pendekatan bahwa birograsi harus lebih sadar memperhitungkan dinamika
masyarakat.
C.
Menuju Kurikulum Yang Ramah Guru
Kurikulum dimaksudkan untuk membantu,
bukan menyusahkan guru. Kesukaran yang timbul dari kurikulum yang dihadapi oleh
guru dengan sendirinya berdampak pada pihak yang paling berhak memproleh
manfaat dari kurikulum.kritik terhadap pola itu membuahkan perubahan yang
menggembirakan walaupun tidak sepenuhnya.
Sikap yang tidak nyaman dan pemahaman
yang salah yang melekat pada guru hanya akan merugikan murid, bukan penyusun
kurikulum. Kurikulum yang begitu berat dan ketat tidak dapat tampil ramah pada
guru, bahkan sifat-sifat itu tidak akan menjadikan kurikulum lebih bermanfaat.
Lebih jauh lagi, kurikulum tidak akan ramah terhadap murid. kita dapat
menyepakati bahwa kurikulum memang diperlukan di dalam system persekolahan yang
modern, dalam arti bahwa setiap guru memerlukan panduan untuk dijadikan
pegangan sehari-hari dalam kaitan kelembagaan. Tetapi ini harus tidak
menjadikan kurikulum bersifat mutlak dalam arti bahwa apa pun yang dicantumkan
oleh kurikulum harus diperlukan secara ketat dan mutlak. Dengan kesepakatan
seperti itu, kita telah mencapai titik persamaan untuk menciptakan kurikulum
yang kurang problematis dan tidak menjebak, bahkan menuju pada kurikulum yang
ramah guru dan benar-benar berfaedah bagi anak bangsa.
PENDIDIKAN YANG MENGINDONESIAKAN
Kita sekarang melihat bahwa
kebanggaan menjadi bangsa Indonesia telah mulai luntur. Hedonisme yang melanda
masyarakat hanyalah satu dari banyak fenomena negative yang menggambarkan bahwa
kemerdekaan dan segala manfaatnya diterima sebagai sudah sewajarnya begitu,
tanpa pemahaman yang lebih dalam. Bahkan karena itu, mereka sudah lebih banyak
hanya menuntut dari pada berperan serta. Benih-benih perpecahan yang bersumber
dari semakin tipisnya nasionalisme bangsa ini telah menimbulkan berbagai
kemungkinan untuk kehancuran diri. Berbagai masalah berbangsa telah disikapi
dengan prilaku yang menggambarkan bahwa kecerdasan hidup bangsa semakin
menurun. Pendidikan ternyata tidak mampu menyentuh segi-segi persoalan
berbangsa tersebut.
A.
Apakah Tidak Nadir Kualitas
Pendidikan Sudah Berhenti Menurun
Harapan dapatnya dimulai dapat
menumbuhkan kekuatan titik balik diperkuat oleh datangnya orde reformasi yang
menjanjikan perubahan yang mendasar, dengan hasil yang juga berbeda secara
mendasar. Timbul harapan yang sangat kuat bahwa pada akhirnya bangsa Indonesia
dapat kembali menikmati kemerdekaan yang menjanjikan nilai-nilai hidup yag
manusiawi. Akan tetapi, sampai sekarang, reformasi itu ternyata hanya menjadi
wacana politik, tanpa kometmen yang jujur dan cerdas untuk merealisasikannya
sebagai upaya pemberian makna kepada kemerdekaan. Tidak pernah ada rencana dan
kometmen yang kuat, yang dibangun secara nasional untuk menghadapi segala
hambatan pembangunan, hanbatan yang harus dihadapi secara frontal dan kolektif
melalui reformasi. Tidak pernah.
Dilihat dari sudut mana pun, dan
diukur dengan kriteria manapun, sukar disangkal bahwa pendidikan Indonesia
telah menduduki tempat yang sangat buruk di dalam sejarah perkembangan
pendidikan sejak kemerdekaan. Kedudukan ini bukan saja dalam perbandingannya
dengan sejumlah Negara yang semula berada dibelakang tetapi yang kemudian mulai
melaju meninggalkan Indonesia, tetapi terutama di dalam perbandingannya dengan
tugas konstitusi yang diamanahkan.
B.
Pendidikan Nasional Dari Sudut
Kepentingan Siapa
Inilah yang di dalam dunia pendidikan
harus dikaji sekali lagi secara mendalam, karena ketika makna berbangsa dan
bernegara mulai retak dalam konteks individual semata-mata, maka dimensi
nasionalnya sudah hilang. Oleh karena itu, eksistensi bangsa ini terancam oleh
kekuatan disentegratif datang tidak lagi dari luar saja, tetapi juga dari dalam
dirinya sendiri. Kembali kita harus mempertanyakan makna pendidikan kita
berpredikat nasional. Kalau pendidikan nasional belum tentu terkait dengan
nilai-nilai nasional, dan belum menjadi kekuatan yang menentukan di dalam
membangun nasionalisme Indonesia sebagai yang di amanahkan oleh konstitusi, pertanyaan
yang selanjutnya adalah: apakah tidak mungkin bahwa pendidikan yang berpredikat
nasional itu dalam rohnya justru bersifat a-nasional, kalau bukan anti
nasional? Mudah-mudahan tidak.
C.
Pendidikan Bermasalah Yang Cenderung
Berkepanjangan
1.
kekurangmantapan
politik pendidikan
Pendidikan
terlibat lansunng dalam proses pertentangan itu, sehingga pendidikan yang
sampai pada hari ini belum pulih, haya mampu yang menyelamatkan diri melalui
paradigma bertahan. Tidak ada kemampuan yang cukup tampil sebagai kekuatan
pembaru dalam proses pembangunan bangsa. Dunia pendidikan menjadi dunia yang
penuh dengan maslah internal.
Karena ketidakmantapan itu, angkatan
guru turut tercabik dalam kubu yang bertentangan, bahkan para peserta didikpun
tebagi-bagi dalam pertentangan yang sama. Dengan demikian dapat diamati,
ketidakmantapan pendidikan politik membawa pendidikan kepada kondisi kehancuran.
para penyelenggara Negara serta sejumlah pemimpin kekuatan sosial politik tidak
dapat berbuat bayak untuk memulihkan kebijakan pendidikan sejalan dengan kehendak
konstitusi dan siap siaga terhadap tantangan dunia maju.
2.
kekurangamampuan
birokrasi pendidikan
Karakter
birokrasi yang seharusnya menjadi kekuatan profesional yang cerdas didalam
memerjuangkan pendidikan kepentingan masyarakat, semakin lama semakin menjadi
sekedar birokrasi atas nama pendidikan, lebih cenderung membela kepentingan birokrasi
sendiri, dengan sikap serta pendekatan yang amaturistik, prakmatik dan
formalistik. Satu-satunya yang selalu dinamis ditangan para birokrat serupa itu
adalah pengelolahan pendidikan berbasis peratuaran : mengatur dan mengatur dan
megatur, menjadikan dunia pendidikan. Akibat selanjutnya, kebijakan
pengelolahan menjadi kekuatan yang justru sangat tidak bersahabat terhadap
gagasan pembaruan diluar kewenangan birokrasi, kerena birokrasi sendiri tidak
didesain untuk mengatur pembaruan.
3.
kekurangpahaman pelaksana pendidikan
Kondisi ini diperkuat pendekatan
pengelolaan pendidikan yang senantiasa berbasis tradisi dan konvensi. Guru dan
tenaga kependidikan lainnya cenderung menjadi tidak peduli terhadap dunia yang
mereka huni sehari-hari. Mereka tampak sebagai pendidik yang tidak pernah mampu
merintis pembaruan, dan hanya berfungsi tidak lain sebagai kekuatan antipembaruan.
PROFESIONALISASI DAN SERTIFIKASI GURU
Sistem sertifikasi guru adalah
gagasan yang baik, sedikitnya dari sudut kepentingan birokrasi. Tetapi, sistem
ini tidak akan berhasil apabila diterapkan semata-mata sebagai pendekatan
birokratis untuk memonitor kondisi dan kinerja guru. Alih-alih memecahkan
masalah, tidak menutup kemungkinan sertifikasi hanya melahirkan masalah baru.
A. Mengapa Sertifikasi Bagi Guru?
Berdasarkan pengalaman Negara-negara
maju yang lebih dulu menerapakan system sertifikasi, sertifikasi umumnya
diartikan sebagai prosedur pemberian wewenang (dalam bentuk sebuah sertifikat)
kepada seseorang yang sudah memiliki kompetensi tertentu untuk melaksanakan
tugas profesional di bidang pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan
aktifitas kependidikan di sekolah.
Dengan demikian, sertifikasi
berfungsi sebagai surat izin atau lisensi mengajar, yang membenarkan bahwa
pemegang lisensi memenuhi syarat tertentu yang terkait dengan seperangkat
kompetensi professional.
B. Memahami Sertifikasi Dari Sudut Nonteknis
Kalau dari sudut pandang birokrasi
prosedur itu dapat dinilai sebagai pendekatan yang tepat, belum tentu begitu
dari sudut pandang guru sendiri. Kecuali dari segi kepentingan administrasi
kepegawaian, sertifikasi belum dapat dijadikan jaminan akan terjadinya
peningkatan kualitas professional guru. Ketika setiap orang guru harus
mempunyai sertifikat, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah lulusan kursus
instan selama beberapa minggu atau beberapa bulan, atau lulusan LPTK setelah
belajar 4 atau 5 tahun, atau guru senior yang sudah menyumbangkan hamper seluruh
masa hidupnya untuk pendidikan, sertifikasi saja tidak akan memberikan dampak
yang signifikan. Kita bias bertanya atas dasar empiris, apakah rendahnya
kualitas guru atau menurunnya kualitas pembelajaran di masa lalu disebabkan
tidak adanya sertifikasi, ataukah oleh sesuatu yang lain, yang mungkin lebih
signifikan? Apakah pandangan ini dapat diberlakukan kepada sekitar 2,5 juta
guru di seluruh Indonesia? Bagaimana dengan guru-guru yang bertugas di berbagai
lembaga pendidikan tinggi.
C. Mengapa Intervensi Sertifikasi Sekarang
Masih banyak faktor lain, yang
mungkin lebih mendesak, yang apabila tidak diperhitungkan secara bersama-sama,
akan menghambat atau bahkan menggagalkan intervensi pemerintah tersebut. Karena
itu, sertifikasi perlu diletakkan sebagai bagian integral dari sebuah strategi
pemberdayaan dengan peningkatan kualitas kinerja guru, sekarang, dan untuk masa
depan. Dalam persepsi guru pada umumnya, persoalan yang lebih, bahkan paling
mendesak adalah kesejahteraan dan dukungan kehidupan guru serta pengadaan
ekologi yang kondusif, yang terkait dengan kinerjanya. Sudah terlalu lama guru
merasakan bahwa itulah masalah yang paling mendesak, sehingga secara sederhana
sering dijadian syarat utama bagi peningkatan kinerja guru.
D. Dunia Guru Tanpa Hambatan
Dunia yang tidak berpihak kepada
pembaruan adalah dunia yang penuh hambatan. Dunia serupa itu, adalah dunia yang
berpotensi untuk gagal, dan berpotensi untuk semakin gagal. Tidak ada lagi
alasan mengapa halangan-halangan yang ada dihadapi hanya secara sporadis,
berdasarkan preferensi, atau berdasarkan selera seseorang. Bahwa masing-masing
dari kita cenderung berbeda pandangan, itu tentu wajar saja, karena sebagian
besar dari perbedaan itu berasal dari perbedaan sudut pandang dan titik
ketinggian tempat kita berpijak. Tidak sedikit usaha birokrasi di masa lalu
yang menggambarkan pandangan yang berlawanan dengan yang disarankan di sini. Perjalanan
sejarah menjadi lain apabila sejak awal guru telah dilibatkan menyumbang
pikiran mereka untuk menyusun kurikulum, pengelolaan pembelajaran berbasis
sekolah, penerapan pelayanan yang bermutu, pelakanaan ujian akhir. Bahwa pada
awalnya mungkin guru pun menjadi gagap karena selama ini mereka memang hanya
terbiasa dijadikan unsure pelaksana. Tetapi dengan peluang yang terbuka, semua
akan menjadi lain. keterlibatan guru di dalam dunia pengabdiannya, adalah
proses belajar yang sangat berharga bagi semua pihak. Dengan jalan ini, jelas
bahwa tujuan sertifikasi akan lebih mudah tercapai dengan baik.
KUALITAS PEMBELAJARAN DAN
PROFESIONALISASI KOMPETENSI
Konsep yang akan mendominasi
pengembangan pendidikan di masa depan adalah kualitas dan kompetensi, karena
keduanya diperhitungkan sebagai kunci utama dalam mengatasi kondisi buruk
pendidikan selama ini.
1. Kualitas Pembelajaran Bersistem
A. Jangkauan Sebuah Kualitas
Kualitas pembelajaran berarti beragam
bagi banyak orang. Ini dapat membingungkan. Yang jelas, guru tidak dapat
diminta bertanggung jawab terhadap semua hal didalam pendidikan yang dinilai
sebagai tidak berkualitas.
B. Lima Komponen Utama Kualitas Pembelajaran
Bagaimana seorang guru dapat berkarya
secara efektif dan efisien dalam kondisi yang tidak memenuhi standar, misalnya
apabila program pembelajaran atau lingkungan pembelajaran tidak mendukung?
Bagaimana pula apabila diantara komponen satuan pendidikan, yang dinilai masih
berada pada tingkat sub-standar, adalah justru para guru dan tenaga kependidikan
lainnya? Dimensi pembelajaran sekitar persoalan seperti itulah yang perlu
langsung menjadi perhatian setiap orang guru secara professional.
Komponen 1: Peserta Didik (pembelajar) Berkualitas
Peserta didik, sebagai mitra
pembelajar guru merupakan komponen pertama yang lazimnya menjadi ukuran
keberhasilan sebuah system pendidikan. Tetapi sering kali ukuran keberhasilan
itu menjadi satu-satunya ukuran yang digunakan. Masuknya peserta didik dalam
system pembelajaran, serta terlibatnya di dalam seluruh proses pembelajaran
merupakan dimensi lain yang harus diperhitungkan secara penuh dalam peningkatan
kualitas.
Komponen 2: Program Pembelajaran Berkualitas
Program pembelajaran yang berkualitas
mencakup dua aspek utama: materi dan proses; keduanya harus mencerminkan
perpaduan kualitas yang tinggi. Di masa lalu, baik dilihat dari kebijakan
birokrasi maupun dari praktik yang berlangsung di lapangan, seringkali terjadi
pemisahan yang tidak menguntungkan antara keduanya. Setidak-tidaknya,
penanganan kedua aspek itu masih kurang terpadu. Memang, ditingkat perencanaan,
keduanya dapat ditangani secara terpisah: materi dituangkan ke dalam bentuk
tertentu dan tersendiri sebagai kurikulum, dan proses dikenal sebagai
metodologi pembelajaran, yang juga ditangani terpisah.
Komponen 3: Ekosistem Pembelajaran Berkualitas
Ekosistem atau lingkungan
pembelajaran yang berkulitas dapat dilihat dalam perspektif yang sangat luas,
mencakup lingkungan politik, social, dan budaya yang berdimensi nasional maupun
global. Tetapi sejauh yang terkait sehari-hari dengan tugas professional
seorang guru, ekosistem yang dimaksud perlu dibatasi pada komponen sekolah,
keluarga, dan masyarakat sekitar. Keberhasilan guru menciptakan suasana yang
berkualitas pada tiga lingkungan tersebut merupakan dukungan yang sangat
berharga dalam usaha peningkatan kualitas pembelajaran.
Komponen 4: Lembaga Pembelajaran Berkualitas
Dalam banyak hal, sekolah telah
termakan tradisi yang panjang, bertahan hidup sebagai lembaga yang jauh dari
berkualitas. Di dalam proses tradisional itu, tidak jarang terjadi guru
sendirilah yang ternyata turut mempertahankan kondisi yang jauh dari berkualitas,
sehingga bukan saja murid, orang tua dan anggota masyarakat yang tidak
merasakan kegembiraan berada di sekolah, tetapi guru sendiri pun demikian!
Tidak semua lembaga pendidikan (terutama merujuk pada sekolah) menampilkan
wajah yang tidak berkualitas, tetapi besar kemungkinan bahwa guru menghadapi
kehidupan sekolah yang negative, dengan beberapa atau semua karakteristik.
Komponen 5: Guru, Fasilitator Pembelajaran Berkualitas
Angkatan guru sendiri sudah lama
terbenam dalam kehidupan pembelajaran dengan kualitas yang sangat rendah,
walaupun terbukti masih cukup berfungsi bila dilihat dari kebutuhan
pembelajaran di masa lalu. Ketika kita bisa merasa puas dengan kegiatan
mengajar dan belajar yang tidak lebih dari pembelajaran yag behavioristik dam
kognitif itu pun pada tingkat paling rendah maka kita tidak perlu mengeluh.
Ditambah lagi dengan pandangan kita yang terbatas, yang terpaku hanya pada
hasil akhir pembelajaran, tanpa memermasalahkan proses dan lain-lain komponen
pembelajaran berkualitas. Semua terasa wajar-wajar saja.
Akan tetapi, aspirasi kehidupan
bangsa yang semakin tinggi, dan kemajuan dunia yang semakin pesat, telah
membuat apa yang dimiliki di masa lalu yang dianggap unggul sekarang sudah
menjadi tidak relevan. Kualitas guru di masa lalu segera menjadi tidak relevan
untuk kebutuhn hari ini; bahkan, dengan meneruskan dan mempertahankan tingkat
keunggulan masa lalu, kehadiran guru hanya akan menjadi kontraproduktif. Kalau
tidak sebagian besar, sekurang-kurangnya masih banyak guru yang antara lain:
Ø Terbatas
memahami bahwa tugas seorang guru adalah mengajar, bukan (lagi) belajar,
memfasilitasi, dan mengelola kualitas.
Ø Tidak mampu
mengajar secara bermakna, karena mereka sendiri tidak pernah memahami hakikat
belajar sebenarnya.
Ø Tidak mampu
menumbuhkan kegairahan belajar, karena mereka sendiri kurang bergairah mengajar
dan tidak hidup sebagai pembelajar.
Ø Tidak mampu
merangsang anak berfikir kritis, dan kreatif, karena guru sendiri terjebak
dalam cara berfikir konformistik d dogmatis.
Ø Tidak mampu
merintis pendekatan pembaruan kerena mereka sendiri terikat oleh kebiasaan
rutin dan tradisi yang membelenggu.
Ø Tidak berani
berinovasi karena inovasi dirasakan sebagai hal baru yang mengandung resiko,
sedangkan berpegang pada cara yang lama dianggap lebih memberikan rasa aman.
Ø Tidak memahami
makna profesionalisme dan otonomi guru dalam memfasilitasi pembelajaran.
Ø Tidk memiliki
dasar falsafah dan etika profesi yang jelas, dan tidak menyadari perannya
sebagai penanggung jawab pembelajaran.
2. Kompetensi di Tangan Guru
A. Memaknai Urgensi Kompetensi Akademik
Menggembirakan mengetahui bahwa pada
suatu saat, mungkin satu dekade dari sekarang, tidak ada lagi guru di Indonesia
yang berpendidikan akademik di bawah tingkat S1/D-4. Tetapi apakah arti
ketentuan ini di dalam jangka panjang? Bahwa kuantitas dan jenis pengetahuan
yang di peroleh calon guru cukup banyak, masih tetap harus dipertanyakan
relevansinya dari kenyataan bahwa:
v Pengetahuan dan
teknologi senantiasa berkembang, dengan orientasi dan motivasi yang tidak selalu
sejalan dengan kebutuhan kependidikan dan kondisi daerah.
v Pengetahuan yang
di pelajari belum tentu Janis yang di
butuhkan di sekolah, terutama ditingkat dasar, di daerah-daerah bermasalah.
v Pengetahuan yang
banyak tidak harus berarti relevan, dan tidak serta merta menyiapkan seseorang
untuk menjadi guru yang kompeten dan berkualitas.
v Tidak ada
jaminan dan mekanisme yang menjamin sinkronisasi program pembelajaran dengan
kualifikasi yang diperoleh melalui pendidikan akademik.
Dengan kata lain, kompetensi adalah
kemampuan profesional, yang berfungsi untuk kepentingan kualitas. Merujuk pada
sekurang-kurangnya lima komponen kualitas pembelajaran yng secara sistematis, maka
implikasinya ialah kompetensi yang diperlukan dari setiap guru adalah
kompetensi yang berkaitan langsung dengan komponen itu, bukan kompetensi umum
yang merupakan kompetensi lepas dan tidak terfokus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar