Sabtu, 24 Maret 2012

Ushul Fiqh


A. Istihsan

1. Definisi Istihsan

Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti "kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain."
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
 1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang         serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan,
Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah umum tertentu kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian -dalam pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan hukum tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari kaidah umumnya, atau qiyas 'khafy' yang tidak terduga (sebelumnya). Proses 'meninggalkan' inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra'yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini."
Sejarah Pemunculan Istihsan Sebagai Salah Satu Sumber Tasyri' Islam
Satu hal yang pasti adalah bahwa penggunaan Istihsan memang tidak ditegaskan dalam berbagai nash yang ada; baik dalam al-Qur'an ataupun dalam al-Sunnah. Namun itu tidak berarti bahwa aplikasinya tidak ditemukan di masa sahabat Nabi saw dan tabi'in. Meskipun jika diteliti lebih dalam, kita akan menemukan bahwa penggunaan Istihsan di kalangan para sahabat dan tabi'in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan ra'yu di kalangan mereka. Atau dengan kata lain, Istihsan sebagai sebuah istilah pada masa itu belum pernah disebut-sebut.
B. Maslahah-Mursalah

Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan maslahat,
berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara
etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan.8
Maslahah merupakan bentuk masdar (adverd) dari fi’il (verb) salaha. Dengan
demikian terlihat bahwa, kata maslahah dan kata manfaat yang juga berasal dari
Bahasa Arab mempunyai makna atau arti yang sama.
Sedangkan menurut istilah atau epistemology, maslahah diartikan oleh para
ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, di antaranya al-Khawarizmi (w. 997
H.) menyebutkan, maslahah adalah al-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala
 Abdul Wahaf Khallaf, (2003), Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
maqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum
Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia
(makhluq). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah
untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan.
Tidak jauh berbeda dengan al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali merumuskan
maslahah sebagai suatu tindakan memlihara tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam,
sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali adalah memelihara lima hal di
atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di
atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan
menolak mafsadah disebut maslahah.9
Sedangkan menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai
orang yang paling popular dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah-mursalah
mengatakan bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus
yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakan syara’.10
Berdasarkan beberapa buah definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa maslahah-mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali
hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan kepada nass tertentu, tetapi
berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqosid asysyari’ah)
Maslahah terbagi tiga yaitu; yang diterima syara’, yang ditolak oleh syara’ dan yang diperselisihkan oleh ulama muslim karena tidak ada dalil, baik yang menerima
maupun yang menolaknya. Maslahah yang ketiga inilah yang menjadi objek kajian
teori maslahah-mursalah atau istilah yang diperkenalkan oleh Imam Malik.
Sebagian pemikir muslim menerima maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan
hukum Islam. Namun sebagian yang lain, khususnya dari kalangan pengikut mazhab
asy-Syafi’iyah menolak maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam,
padahal berdasarkan hasil penelitian yang ada, Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya
Imam al-Ghazali menerima maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum
Islam.
C.Urf 
'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan).  
1. Pengertian ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.          
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
2. Macam-macam 'urf
'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada:
a. 'Urf qauli
Ialah 'rf yang berupa perkataan' seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).
b. 'Urf amali   
Ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jua beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas:
a. 'Urf shahih
Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.
b. 'Urf asid
Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf terbagi kepada:
a. 'Urf 'âm
Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.
Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:

Artinya:
"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba.
Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.
b. 'Urf khash
Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.
3. Dasar hukum 'urf
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
4. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'urf
Diantara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf ialah:
a.
Artinya:
"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."
b.
Artinya: "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya."
c.
Artinya:
"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa."
D. Syar’u man qablana
1. Difinisi Syar’u Man Qablana.
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyaritkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.
2.Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
1. Dinasakh syariat kita(syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama.
2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini(Syar’u Man Qablana) :
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :
1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am, ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24.
2. kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.
E. Ishtishab
1. Definisi Istishhab

Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Jika seseorang mengatakan:
استصحبت الكتاب في سفري
maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).

2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.

Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
2. Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain

Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”
Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan Istishhab
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
Diantara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah:
1. Firman Allah: yang artinya:

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini –menurut mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
2. Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3. Ijma’.

Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.
4. Dalil ‘aqli.

Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
- Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
- Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.

Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
F. Saddudz Dzari'ah
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzari'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan.  
1. Pengertian saddudz dzari'ah
Saddudz dzari'ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzari'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzari'ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzari'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
Artinya:
"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula."
`Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
2. Dasar hukum saddudz dzari'ah
Dasar hukum dari saddudz dzari'ah ialah aI-Qur'an dan Hadits, yaitu:
a. Firman Allah SWT:
Artinya:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'âm: 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
b. Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"...Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nûr: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
c. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya:
"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
3. Obyek saddudz dzari'ah
Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
  1. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
  2. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzari'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
  1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
  2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
  3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
G. Madzhabus Shahabiy
1.  Definisi Sahabat
Sebelum mengetahui definisi qaul as-shahabi terlebih dulu penulis akan membahas mengenai definisi dari as-shahabi itu sendiri. Secara etimologi As-shahabi adalah mufrad dari shahabat, yang diambil dari kata-kata shahiba-yashahabu-shuhbatan dan shahabatan yang bermakna bergaul dengan seseorang.
Adapun secara terminologi, para ulama memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mendefinisikannya. Menurut para muhadditsin as-shahabi adalah orang yang bertemu dengan Nabi Saw., beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam. Dari definisi ini dapat diambil beberapa poin bahwa:
  1. Sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi Saw. secara mutlak, baik itu bertemu sekali saja ataupun sering, baik itu lama atau sebentar.
  2. Seseorang yang bertemu dengan Nabi Saw. sebelum beliau diutus menjadi rasul tidak disebut sahabat. Akan tetapi disebut sahabat apabila bertemu dengan Nabi Saw. setelah beliau diutus menjadi Rasul.
  3. Seseorang yang sezaman dengan Nabi Saw., tetapi tidak bertemu dengannya maka tidak disebut sahabat tetapi mukhadharam.
  4. Sedangkan menurut para Ushuliyyin bahwa sahabat adalah setiap orang yang beriman kepada Nabi Saw., bergaul dengannya dalam waktu yang lama dan mati dalam keadaan Islam. Adapun menurut Al-Baqilani dan beberapa ulama lainnya, seperti Ibnu Faruk dan Ibnu Sam’an bahwa sahabat adalah orang yang lama pergaulannya dengan Nabi Saw. dan banyak berguru pada Nabi Saw. dengan cara mengikutinya dan mengambil pengajarannya.
2. Perbedaan Definisi Sahabat Menurut Para Muhadditsin dan Ushuliyyin
  1. Dari definisi diatas dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat tipis antara para muhadditsin dan Ushuliyyin dalam mendefinisikan sahabat. Semuanya sepakat bahwa sahabat adalah orang yang beriman kepada Nabi Saw. dan mati dalam keadaan Islam. Namun mereka berbeda pendapat dalam lama-tidaknya pertemuan antara seseorang yang dianggap sahabat dengan Nabi Saw.. Para muhadditsin tidak mensyaratkan keharusan seringnya bertemu dengan Nabi Saw., sekali saja sudah cukup, hal ini dikarenakan para ulama muhadditsin memandang para sahabat sebagai periwayat bagi hadits-hadits Nabi Saw.. Dan hal ini tidak menuntut harus seringnya bertemu dan bergaul dengan Nabi Saw.. Oleh karenanya para sahabat berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam jumlah hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah Saw.
Sedangkan para ulama Ushuliyyin mensyaratkan lamanya pergaulan para sahabat dengan Nabi Saw., karena memandang bahwa para sahabat adalah generasi yang akan menyampaikan hukum-hukum dalam Islam dan hal ini menuntut adanya pergaulan yang lama dengan Nabi Saw. sehingga bisa menghasilkan ilmu dan pehaman yang mendalam.
Oleh karenanya tidak semua sahabat menjadi ahli hukum atau mufti. Sebagaimana perkataan Ibnu Hazm yang dikutip oleh Dr. Ali Jum’ah dalam bukunya bahwa, fatwa mengenai hukum dan ibadah tidak diriwayatkan kecuali dari seratus orang sahabat lebih, baik dari laki-laki atau perempuan, dan hal ini berdasarkan penelitian yang dalam. Lebih lanjutnya Dr. Ali Jum’ah menerangkan bahwa di antara para sahabat yang banyak mengeluarkan fatwa sebanyak tujuh orang yaitu: Umar bin Khattab, ali bin abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin tsabit, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Ummar dan Aisyah Ummul Mukminin.
3.Definisi Qaul As-Shahabi
Terdapat beberapa definisi mengenai qaul as-shahabi ini, di antaranya:
1. Perkataan seorang sahabat yang tersebar pada sahabat-sahabat yang lainnya tanpa diketahui ada sahabat lain yang menentangnya.
2. Fatwa seorang sahabat atau madzhab fiqihnya dalam permasalahan ijtihadiyah.
3. Madzhab sahabat dalam sebuah permasalahan yang termasuk objek ijtihad.
4. Dr. Musthafa Daib Al-Bugha, mengistilahkan qaul as-shahabi dengan madzhab shahabi, yaitu segala hal yang sampai kepada kita dari salah seorang sahabat Rasul baik berupa fatwanya atau ketetapannya dalam permasalahan yang berkaitan dengan syari’at, yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan belum ada ijma’ dalam permasalahan tersebut.
Dari beberapa defini qaul as-shahabi di atas, penulis menyimpulkan bahwa qaul as-shahabi adalah hal-hal yang sampai kepada kita dari sahabat baik itu berupa fatwa atau ketetapannya, perkataan dan perbuatannya dalam sebuah permasalahan yang menjadi objek ijtihad yang belum ada nash yang sharih baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang menjelaskan hukum permasalahan tersebut.
4. Macam-Macam Qaul As-Shahabi
Para ulama membagi qaul as-shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya Dr. Abdul karim Zaedan yang membaginya ke dalam beberapa macam:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi Saw. sangat besar. Sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori As-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam As-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad, seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama As-Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permaslahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.      2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4 Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul as-shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam. Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan bahwa perkataan yang berasal dari ijtihad seorang sahabat yang tidak diketahui tersebarnya pendapat tersebut di antara para sahabat lainnya juga tidak diketahui pula ada sahabat lain yang menentangnya dan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada perkataan sahabat seperti ini para ulama berbeda pendapat mengenai statusnya.
Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan beberapa poin mengenai macam-macam qaul as-shahabi ini, di antaranya:
1. Perkataan Khulafa Ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits,” Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah para Khulafa Ar-Rasyidin setelahku…
2. Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.

DAFTAR PUSTAKA
1.    Ushul Fiqh. Prof. DR. H. Amir Syarifuddin. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. Cetakan ketiga. 1426 H.
2.      Ushul Fiqh al-Muyassar. DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415 H.
3.      Ilm Ushul al-Fiqh. ‘Abd al-Wahhab Khallaf. Dar al-Qalam. Kuwait. Cetakan keempat belas. 1401 H.
4.      Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.
5.      Al-Istidzkar al-Jami’ li Madzahib Fuqaha’ al-Amshar wa ‘Ulama al-Aqthar Fima Tadhammanahu al-Muwaththa’ min Ma’ani al-Ra’y wa al-Atsar. Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdillah ibn ‘Abd al-Barr al-Andalusy. Tahqiq: DR. ‘Abd al-Mu’thy Amin Qal’ajy. Dar Qutaibah. Damaskus. Cetakan Kesepuluh. 1413 H.
6.      Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala al-Din ibn ‘Abd al-‘Azis ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby. Beirut. 1394 H.
7.      Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410 H.
8.      Al-Majmu’ Syarah al- Muhadzdzab. Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy. Tahqiq: Muhammad Najib al-Muthi’iy. Maktabah al-Irsyad. Jeddah. T.t.
9.      Al-Mughny. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. T.t.
10.  Al-Mustashfa  fi ‘Ilm al-Ushul. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1417 H.
11.  Nihayah al-Saul fi Syarh Minhaj al-Ushul. ‘Abd al-Rahim ibn Hasan al-Syafi’i al-Asnawy. Al-Mathba’ah al-Salafiyah. Kairo. T.t.
12.  Syarh Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm al-Ushul. Syihab al-Din Ahmad ibn Idris al-Qarafy. Tahqiq: Thaha ‘Abd al-Ra’uf. Dar al-Fikr. Beirut. Cetakan pertama. 1393 H.
13.  Taisir al-Tahrir. Muhammad Amir Badsyah. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
14.  Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar