BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qur’an adalah kalam Allah (verbum
dei) yang sekaligus
merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang
sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul
kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan
pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan
basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala
aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di
jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya.
Sejumlah pengamat Barat memandang
al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa,
gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi
mereka. Kaum Muslim
sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum
al-Qur’an. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih
menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia
al-Qur’an dengan sempurna.
Ulum al-Qur’an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara
mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab Ulum
al-Qur’an yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhan fi Ulum
al-Qur’an, karya Badr al-Din al-Zarkasyi (w.794 H) dan al-Itqan fi
Ulum al-Qur’an, karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H).
‘Ilm Munâsabah (ilmu
tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan
bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam
rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh
(holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsir ; al-Qur’an
yufassirû ba’dhuhu ba’dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat
yang lain, maka memahami al-Qur’an harus utuh, jika tidak, maka akan masuk
dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-sepotong).
Manna’
al-Qattan dalam kitabnya Mabahits
fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti muqarabah
juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum
al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam
al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat
yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga,
hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat,
hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima,
hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat
satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan
antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara
penutup surat dengan awal surat
Munâsabah
antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks
merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Sehingga ‘ilm
munâsabah dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut yang
mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain di satu pihak, dan antara
satu ayat dengan ayat yang lain di pihak yang lain. Oleh karena itu,
pengungkapan hubungan –hubungan itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan
insight (wawasan) yang dalam dan luas mengenai teks.
Dalam al-Qur’an itu sendiri terdapat
tanda-tanda kebesaran Sang Pemberi, yaitu dengan gaya bahasa dan susunan yang
begitu indah, di antara susunan al-Qur’an ada keserasian antara ayat yang satu
dengan yang lain, adanya hubungan saling melengkapi. Hubungan inilah
yang dinamakan Ilmu Munasabah yang Insya Allah akan kami bahas pada
masalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian munasabah
Kata Munasabah secara etimologi, menurut asy-Syutuhi berarti al-Musyakalah
(keserupaan) dan muqarabah (kedekatan). Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah
menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat :
fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah
kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika
keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat
(qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang
mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz
umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab
akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.
Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan
bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti
bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Adapun menurut pengertian terminilogy, Munasabah
dapat didefinisikan sebagai berikut.
1. Menurut
az-zarkasyi,
Munasabah adalah
suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu
akan menerimanya.
2. Menurut
Manna’ Alqaththan,
Munasabah adalah sisi keterikatan antara
beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau
antara surah di dalam al-Qur’an.
3. Menurut
Ibnu al-‘Arabi,
Munasabah keterikantan ayat-ayat
al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyaisatu kesetuan
makna dan keteraturan redaksi
B. Macam-macam munasabah
Para ulama yang menekuni ilmu munasabah Al-Qur’an
mengemukakan bahkan membuktikan keserasian yang dimaksud, setidak-tidaknya
hubungan itu tersebut terdapat tujuh macam munasabah yang meliputi:
1.
Hubungan antara satu surah
dengan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya,
misalnya didalam surah Al-Fatihah ayat 6 disebutkan:
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus,” (Q.S. Al-Fatihah: 6)
Lalu dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 2, bahwa jalan yang lurus itu
adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan:
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah: 2)
2. Hubungan
antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Nama-nama surah biasanya
diambil dari suatu masalah pokok didalam satu surah, misalnya surah An-Nisa’
(perempuan) karena didalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan.
3. Hubungan
antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah. Misalnya surah
al-Mu’minuun dimulai dengan:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,” (Q.S. Al-Mu’minuun: 1)
Kemudian
diakhiri dengan:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada
beruntung.” (Q.S.
Al-Mu’minuun: 117)
4. Hubungan
antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah. Misalnya kata
“Muttaqin” di dalam surah Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya
mengenai cirri-ciri orang-orang yang bertaqwa.
5. Hubungan
antara kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surah al-Fatihah ayat 1: “
Segala Puji Bagi Allah”, lalu dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan
semesta alam”.
6. Hubungan
antara fashilah dengan isi ayat. Misalnya didalam surat al-Ahzab ayat 25 disebutkan:
“dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan “ (Q.S. Al-Ahzab: 25)
“dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al-Ahzab: 25)
7.
Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya. Misalnya penutup surat al-Waqi’ah:
”Maka
bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” (Q.S. Al-Waqi’ah: 96)
Lalu
surah berikutnya, yaitu surah al-Hadiid ayat 1:
“Semua yang berada di langit dan yang berada
di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Hadiid: 1)
C.
Eksistensi munasabah
D.
Urgensi munasabah
Sebagaimana
asbab an-nuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami al-qur’an. Muhammad
Abdullah darras berkata: “sekalipun permasalahan-permasalahan yang di ungkapkan
oleh surat-surat itu banyak. Semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang
awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami
sistematika surat
semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan
segala permasalahannya.”
Di
samping itu, para ulama bersepakat bahwa al-qur’an ini, yang di turunkan dalam
tempo 20 tahun lebih dan b mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang
berbeda-beda, sesungguhnya memliki aya-ayat yang mempunyai hubungan erat,
hingga tidak perlu lagi mencari asbab nuzulnya, karena pertautan satu ayat
dengan ayat yang lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu
pulalah, Az-
Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada asbab an-nuzul, yang lebih utama
adalah mengemukakan munasabah.
Daftar
Pustaka
Ahsin W, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Amzah,
2005
Al-Qathan,
Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Jakarta: pustaka
Islamiyah, 1998
Hasbi,
Muhammad, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka rizki
Putra, 2002
Shihab,
Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an,
Jakarta:
Pustaka Firdaus,2001
Ashim W.
al-Hafizh, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Amzah, 2005, Cet, I , hal. 197
Manna
Khalil al-Qatani, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Pustaka Islamiah,
Bogor, 1998, Cet, IV, hal. 138
Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizky Putra,
2002, Cet. II, hal. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar